Kapita Selekta Pendidikan Islam ( Problematika Pendidikan Islam)




BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Tuntunan agama Islam pada khususnya, sejak awal penyebarannya didunia ini telah mengajak dan mendorong umat manusia agar bekerja keras mencari kesejahteraan hidup didunia dan kebahagaiaan diakhirat secara simultan. Antara etos kerja duniawi dan ukhrowinya tidak boleh dipisahkan, melainkan etos kerja yang terintegrasikan, yang satu sama lain saling berkaitan secara continue, termasuk etos ilmiah yang mendorong kearah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  Pendidikan  islam pada hakikatnya diselenggarakan untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai islam kedalam jiwa para pemeluknya. Sehingga seiring dengan perjalanan waktu yag cukup panjang dan perkembangn masyarakat yang terus berubah, meteri, bentuk dan pola penyelenggaraan serta sarana dan prasarana pendidikan Islam terus mengalami perluasan dan penyempurnaan. Sampai pada akhirnya, pengertian pendidikan Islam sudah demikian beragam dan luas cakupannya.
Selain itu, dangan berkembangnya ilmu pengetahuan dan zaman yang semakin hari semakin maju dan berkembang juga telah menimbulkan berbagai macam masalah dan problematika dalam dunia pendidikan islam. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya menyajikan sebuah makalah tentang Kapita Pendidikan Islam, dengan judul makalah: “ Problematika Pendidikan Islam”
           
Rumusan Masalah:
1)      Apa pengertian pendidikan islam?
2)      Apa visi dan misi pendidikan islam?
3)      Apa problematika pendidikan islam?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Pendidikan Islam
a)      Pengertian Etimologi pendidikan Islam[1]
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim riyadhah isyad dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagia atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun semuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa buku pendidikan islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan.
·         Tarbiyah
Istilah tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayani) maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan memelihara membesarkan, dan menjinakan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an. Dalam QS. Al-Isra’ ayat 24 disebutkan: “kamaa rabbayaani shaghiraa, sebagaimana mendidikku diwaktu kecil.” Ayat ini menunjukan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak saja mendidik pada domain jasmani, teteapi juga domain rohani. Sedangkan dalam QS. asy-Syu’ara ayat 18 disebutkan: “alam nurabbika fina walida, bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami.” Ayat ini menunjukan pengasuhan Fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu hanya sebatas pada domain jasmani, tanpa melibatkan domain rohani. Sementara dalam QS. al-Baqarah: 276 disebutkan: “Yamhu Allah ar-ribaa wa yurbii shadaqoh, Allah menghapus sistem riba dan mengembangkan sistem sedekah.” Ayat ini berkenaan dengan makna menumbuhkembangkan dalam pengertian tarbiyah, seperti Allah menumbuhkembangkan sedekah dan menghapus riba.
Tarbiyah dapat juga diartikan sebagai proses transfomasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani) kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur. Pemahaman istiah tarbiyah lebih luas dapat dilihat pada pngertian sebagai berikut:
تَبْلِيْغُ الشّيْئِ اِلَى كَمَالِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا بِحَسْبِ اسْتِعْدَادِهِ
“Proses menyampaikan (transformasi) sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan tahap demi tahap sebatas pada kesanggupannya.”

·         Ta’lim
Ta’lim adalah kata benda atau mashdar yang berasal dari kata ‘allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedankan ta’lim diterjemahkan dengan pengjaran.
·         Ta’dib
Ta;dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’din yang seakar dengan adab memilik arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orany yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan. Pengertian ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW: 
أَدَّبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ (رواه مالك عن أنس)
”Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.”
·         Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan. Menurut al-Bastani, riyadhah dalam knteks pendidikan berarti mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia.

b)      Pengertian Terminologi Pendidikan Islam[2]
Berdasarakan beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli dalam beberapa buku bahwa pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “Proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai islam kepada para peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup didunia dan akhirat.” Defenisi ini memiliki lima unsur pokok pendidikan islam, yaitu:
1)      Proses transisternalisasi. Upaya dalam pendidikan Islam dilakukan secara bertahap, berjenjang, terencana, terstruktur, sistemik, dan terus-menerus dengan cara transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai islam pada peserta didik.
2)      Pengetahuan dan nilai islam. Materi yang diberika kepada peserta didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai islam, yaitu pengetahuan dan nilai yang diturunkan dari tuhan (illahiyan), atau materi yang memiliki kriteria epistomologi da aksiologi islam, sehingga output pendidikan memiliki wajah-wajah islami dalam setiap tindak-tanduknya.
3)      Kepada peserta didik. Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai subjek dan objek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan da aktualisasi potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasi dalam pengembangan dan aktualisasi itu. Sedangkan dikatakan objek karena ia menjadi sasaran dan transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, agar ilmu dan nilai itu tetap lestari dari genrasi kegenarasi berikutnya.
4)      Melalui upaya penagjaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensial peserta didik agar terbentuk dan berkembang daya kreatifitas dan produktivitasnya tanpa mengabaikan potensi dasarnya.
5)      Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaanhidup didunia dan akhirat. Tujuan akhir pendidikan islam adalah tercipta insan kamil, yaitu mansia yang menyelaraskan dan mampu memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.
Menurut Zarkowi Suyuti, sebagaimana dikutip oleh A. Malik Fajar, pengertian pendidikan Islam meliputi tiga hal. Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh  keinginan dan semangat cita-cita luhur untuk mengejawantahkan nilai-nilai islam, baik yang tercermin dari nama lembaganya maupun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Disini kata islam dijadikan sebagai sebagai sumber nilai yang tercermin dari nama lembaganya maupun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Disini kata islam dijadikan sebagai sumber nilai yang akan diimplemantisikan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang menjadikan ajaran islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Disini kata islam ditempatkan sebagai sebuah disiplin ilmu dan dikaji serta diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Ketiga jenis pendidikan yang mencangkup kedua pengertian diatas. Disini kata Islam kata islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang mengilhami serta tujuan yang hendak dicapaidalam keseluruhan proses pendidikan sekaligus juga sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program yang ditawarkan.

2.      Visi dan Misi Pendidikan Islam[3]
a)      Visi Pendidikan Islam
Kata visi berasal dari bahasa Inggris vission , yang mengandung arti penglihatan atau daya lihat, pandangan, impian atau bayangan. Dalam bahsa arab kata visi dapat diwakili olehbkata nadzr, jamaknya indzar, yang berarti vision (pandangan), seing (penglihatan) dan eye-seight (pandangan mata). Dari pengertian diats dapat dilihat bahwa seluruh pengertian tersebut berkaitan denga teori, kosep, gagasan, pemikiran, pandangan kedepan, pertimbangan, dan pandangan yang dihasilkan melalui kerja keras akal pikiran. Visi adalah konsep atau rumusan yang dihasilkan melalui pemikiran.
Visi pendidikan sesungguhnya melekat pada cita-cita dan tujuan jangka panjang ajaran islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman Allah SWT:
“Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ :107)
                        Ayat tersebut oleh Imam al-Maraghiy ditafsirkan sebagai berikut:
“Bahwa maksud dariayat yang artinya tidaklah Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam, adalah bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini, serta sebagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar rujukan untuk mencapai bahagia da akhirat, melainkan agar menjadi rahmat dan petunjuk bagi mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhiratnya.”
Dengan demikian, visi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Menjadikan pendidikan islam sebagai pranata yang kuat, berwibawa, efektif, dan kredibel dalam mewujudkan cita-cita ajaran islam.”
Dengan visi tersebut, maka seluruh komponen pendidikan islam sebagaimana tersebut diatas, harus diarahkan kepada tercapainya visi tersebut. Visi itu harus dipahami, dihayati, diamalkan oleh seluruh unsur yang terlibat dalam kegiatan pendidikan.
b)      Misi Pendidikan Islam
Misi berasal dari bahasa Inggris mission yang memilikiarti tugas, perutusan, utusan atau misi. Mission dapat diartikan sebagai tugas-tugas atau pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai visi yang ditetapkan. Dengan demikian antara visi dan misi harus memiliki hubungan fungsional-simbiotik, yakni saling mengisi dan timbal balik. Dari sau sisi visi mendasari mendasri rumusan misi, sedangkan dari sisi lain, keberadaaan misi akan memnyebabkan adanya visi. Misi merupakan jawaban atas pertanyaan what are will doing? (apa yang akan dikerjakan?). Karena pekerjaan merupakan kegiatan, maka misi harus berisi berbagai kegiatan yang mengarah kepada tercapainya misi.
Berdasarkan Uraian diatas, maka misi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Mendorong timbulnya kesadaran umat manusia agar mau melakukan kegiatan belajar-mengajar
2)      Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sepanjang hayat
3)      Melaksanakan program wajib belajar
4)      Melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
5)      Mengeluarkan manusia dari kehidupan dzulumat  (kegelapan) kepada kehidupan yang terang benderang
6)      Memberantas sikap jahiliyah
7)      Menyelematkan manusia dari tepi jurang kehancuran yang diebabkan karena pertikaian
8)      Melakukan pencerahan batin kepada manusia agar sehat jasmani dan rohaninya
9)      Menyadarkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana dimuka bumi, seperti pemusuhan dan peperangan
10)  Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dimuka bumi.

3.      Problematika Pendidikan Islam
1)      Hancurnya pilar pilar pendidikan karakter[4]
Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah sebuah perjuangan bagi setiap individu untuk menghayati kebebasannya dalam relasi mereka dengan orang lain dan lingkungannya, sehingga ia dapat semakin megukuhkan dirinya sebagai pribadi yang unik dank has serta memiliki integritas moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai-nilai luhur pada diri peserta didik, melainkan merupakan sebuah usaha bersama untk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, yaitu tempat dimana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehudupan moral yang dewasa.
Berbagai kenyataan dan realitas yang menjadi penghambat bagi terlaksananya pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama dan pendidikan agama sebagai pilar-pilar pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin parah dan lemah. Keadaan ini jika tidak segera diatasi, maka pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengatasi kemorosotan moral dan akhlak bangsa ini akan sulit diwujudkan. Karenanya sebuah studi komprehensif, mendalam dan sungguh-sungguh untuk merekontruksi kembali pendidikan karakter yang didasarkan pada hasil penelitian yang kredibel merupakan hal yang perlu dilakukan.
Selanjutnya realisasi pendidikan karakter tersebut juga harus ditopang oleh tiga pilar utama lembaga pendidikan yaitu rumah tangga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya dengan dasar tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak sebagai titipan dan amanah tuhan yang harus dipertanggungjawabkan. Dilihat dari segi kecenderungannya, ada orang tua yang menginginkan anaknya dididik dalam konteks lingkungan yang multikultural, ada pula orang tua yang ingin anaknya dididi dengan pendidikan yang diterimanya dirumah, dan adapula orang tua yang tidak puas pada pelayanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah, sehingga mereka menginginkan sebuah pendidikan alternatif yang selanjutnya dikenal dengan  istilah home schooling dan sebagainya. 
            Namun dalam praktiknya tidak semua orang tua memiliki wawasan, pengalaman, keahlian dan peran-peran yang harus dimainkan orang tua dalam mendidik karakter putera-puterinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini masih ditambah lagi keadaan orang tua yang tidak memiliki  waktu yang cukup untuk membina karakter anaknya dirumah, sebagai akibat dari perannya yang tidak lagi hanya bersikap domestic dan lokal, melainkan juga peran yang bersifat nasional, regional bahkan internasional.
            Bertolak dari berbagai kekurangan yang dimiliki orang tua dirumah, maka pendidikan karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, dengan pertimbangan karena merupakan institusi yang dibangun dengan tugas utamanya mendidik karakter bangsa, juga disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM, manajemen, system, dan lainnya yang berurusan dengan pendidikan. Namun, karena tidak semua sekolah memiliki visi. Misi, tujuan dan komitmen yang jelas tentang pendidikan karakter, serta lemahnya dalam menerapkan metodologi dan pendekatan sebagaimana tersebut diatas, menyebabkan pendidikan karakter disekolah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak hanya itu, pada sebagian besar lembaga pendidikan yang bernama sekolah inimasih terdapay praktek budaya yang secara diametral tidak sejalan dengan oendidikan karakter. Budaya sekolah yang tidak baik, seperti kultur yang tidak jujur, menyontek, mengatrol nilai, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis buku pelajaran yang merugikan siswa, tdiak disiplin, kurang tanggung jawab terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai lembaga pendidikan yang bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka seorang anak yang sebelum masuk sekolah terlihat jujur, sopan dan santun, namun setelah tamat sekolah malah akhlak dan karakternya makin merosot. Adanya tawuran antara pelajar, pergaulan bebas, hubungan seks sebelum nikah, tindakan criminal, kebut-kebutan, mengonsumsi narkoba, dan lain sebagainya seringkali mewarnai para pelajar. Semua contoh ini sama sekali bertentangan dengan visi, misi dan tujuan pendidikan karakter.
            Selanjutnya karena rumah tangga dan sekolah sebagai pilar-pilar utama bagi pendidikan karakter tersebut sudah kurang efektif lagi, bahkan sudah hancur, maka pemerintah dan masyarakat juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Melalui tanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya manusia dan system yang dimilkinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk menyenlenggarakan karakter bangsa. Namun demikian, pilar pemerintah inipun dalam keadaan rapuh dan tidak efektif. Banyaknya pejabat pemerintah mulai dari atas sampai kebawah, mulai dari pusat sampai kedaerah yang terlibat dlam tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan wewnang yang berdampak pada kerusakan lingkungan, serta sejumlah kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, serta foya-foya, menyebabkan wibawa dan hak moral pemerintah sebagai modalnutama bagi pendidikan karakter menjadi amat merosot. Munculnya para calon pejabat daerah yang dinilai kurang baik akhlaknya ditanya, mengapa ia berani ikut serta dalam pemilu pilkada? Ia menjawab: “bhwa pejabat yang sekarang berkuasa dipusat dan didaerah pun banyak akhlak dan moralnya tidak terpuji. Oleh karena itu mengapa saya yang akhlaknya kurang terpuji tidak boleh mencalonkan diri” Jika keadaannya sudah begini, maka pilar mana lagi yang dapat diharapkan mampu menopang pendidikan karakter bangsa.
2)      Perbenturan antara nilai-nilai kehidupan umat manusia[5]
Sebelum perkembangan ilmu dan teknologi canggih abad ke-20, terutama yang menjangkau teknologi ruang angkasa yang didahului oleh pengorbitan Sputnik Uni Soviet pada tahun 1957 yang lalu kedalam garis orbit, telah berkembanglah benih-benih konflik antar nilai dalam berbagai lapangan hidup umat manusia. Bahkan sejak Renaissance (Aufklarung) pada abad pertengahan dibenua Eropa, benih-benih konflik itu telah berkembang antara lain dogmatisme gereja dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang didukung oleh filsuf yang menghendaki kebebasan menalar sepuas-puasnya. Tuntutan hati nurani para pakar segala bidang imiah itu akibat nunculnya doktrin-pemisahan nilai agama (Kristen), dari nilai-nilai sekuleristik ilm pengetahuan di Eropa.
            Benturan nilai-nilai itu berlanjut terus-menerus sampai berlanjut terus-menerus sampai meletusnya revolusi industry dengan penciptaan mesin-mesin kapal dan pabrik di Inggris. Kemudian berlanjut dengan berkembangnya iptek dibidang persenjataan perang kaum penjajah barat (Eropa dan Amerika Serikat) untuk kepentingan kolonialisme-imperialisme terhadap bangsa-bangsa terjajah. Sehingga terjadilah confict of interest (benturan nilai-nilai karena berbedanya kepentingan) antara para penjajah dengan yang dijajah.
            Begitu pula timbul perbenturan nilai-nilai dalam kepentingan ekonomi antara negara-negara industry maju dengan negara belum maju industrinya. Selain itu, nilai dari kepentingan pemasaran hasil industry antar sesame negara industry terjadi juga konflik, sehingga dalam usaha bisnis mereka sendiri berlaku semboyan money is power. Dalam praktek persaingan dagangnya juga berlaku semboyan homo homini lupus (manusia memakan sesama manusia). Satu sama lain saing berusaha membunuh rekan dagang, membengkak menjadi nafsu kolonialisme ekonomi modern pada saat ini terhadap bangsa-bangsa dunia ketiga.
            Persaingan hidup antar manusia yang berbeda atau sama kepentingannya itu, pada gilirannya mendorong kemajuan perkembangan iptek canggih. Sebagai alat yang terus berlangsung tanpa diketahui oleh ilmuwan genius manapun kapan mencapai titik puncaknya. Negara-negara yang sedang berkembang menantikan produk-produk negara maju. Proses produksi mereka lebih cepat dari proses belajar-mengajar bangsa-bangsa yang sedang membangun. Ibaratnya mengejar laying-layang yang terputus talinya diudara terbuka, semakin dikejar laying-layang itu semakin terbang tinggi. Barangkali hanya melaui terobosan-terobosan jalan studi baru peniruan, kita dapat menguasai dan mengejar ketinggalan-ketinggalan dibidang iptek tersebut, seperti Jepang.
            Dalam kaitannya dengan perubahan sosial itu, ilmuwan bidang antropologi seperti Herbert Spencer, memandang bahwa:
a.       Kehidupan umat manusia berada dalam proses penyesuaian diri antara hubungan internal dengan eksternal (lingkungan). Prilaku manusia disesuaikan dengan tujuan hidupnya.
b.      Prilaku yang disebut baik, secara relative lebih banyak mengalami perubahan. Sedangkan prilaku yang berpredikat buruk, mengalami perubahan lebih lambat.
c.       Proses penyesuaian prilaku yang semakin berkembang sesuai dengan tujuan berlangsung sepanang hidup.
d.      Hidup yang disebut baik atau buruk itu dapat atau tidak dapat memberikan perasaan nikmat yang berupa kesenangan.
e.       Sesungguhnya hidup itu tidak akan dapat memberikan perasaan yang melimpah.
f.       Apa yang secara optimal dapat memberikan kewenangan kepada normal moral dan rasa takut terhada siksaan (derita) dan hukuman.
g.      Kaidah dan peraturan moral yang diterima oleh seluruh masyarakat sepanjang sejarah adalah bergantung atas seleksi alamiah yang sesuai dengan keadaan, sehingga prilaku manusia mendapat sanksi moral yang proporsinya berbanding terbalik. Antara semakin lemahnya disiplin dengan semakin besarnya kerajinan bekerja.
h.      Tiap orang secar intuitif adalah makhluk yang bebas memilih berbuat sesuatu yang ia kehendaki, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan itu ia pergunakan untuk mencari kebaikan bagi dirinya sendiri.
i.        Dalam proses perkembangannya, prilaku manusia semakin kurang teerkendali oleh tujuan jangka panjang. Sedangkan rasa melaksanaka suatu kewajiban (sense of duty) merupakan hasil sanksi internal yang dapat menyelematkan prilaku manusia itu yang banyak dikendalikan oleh tujuan hidup jangka panjang. (An Introduction to Ethnics, William Lillie, p. 184).
Sejalan dengan teori perubahan tersebut diatas, filsuf besar Jerman. Immanuel Kant memandang, bahwa manusia itu sebagai makhluk yang bertujuan hidup dan dirinya sendiri (mans is an end in himself). Padahal, banyak orang yang menganggap bahwa yang paling utama bagi manusia adalah hasil kemajuan paling indah dari kehidupan moral manusia (William Lillie, p. 20).
Ungkapan diatas menujukan arti bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan dirinya sendiri sejalan dengan tujuan hidupnya. Namun menurut penulis, manusia secara fitri memiliki potensi untuk mengubah diri menjadi lebih baik, beriman, berbuat shaleh, dan sebagainya. Manusia sebagai tabiat berpotensi untuk menjadi orang kafir, fajir dan jahat, perusak dan sebagainya. Manusia untuk menjadi baik banyak bergantung pada proses interaksi antara pengaruh dari dalam diri dengan pengaruh dari luar dirinya. Itulah proses pendidikan yang terjadi dalam masyarakat terbuka, dimana kegiatan interaksional antara dirinya apa yang terjadi dalam masyarakat saling mempengaruhi.
Seorang filsuf Inggris terkenal pada bagian awal abad ke-20 ini, Bertrand Russel, pernah menggambarkan tentang conflict of interest dalam berbagai bidang kehiduoan sebagai berikut: “Boadly speaking we are on the middle of race between human skill as to means an human folly as to ends; every increase in the skill required to achieve in to bad; the human race has survived hitherto owing to ignorance and incompetence; but given knowledge and competence combined with folly, there can be certainty of survival. Knowledge is power, but is power for evil just as much as good. It follows that unless man increase in wisdom as such as in know-ledge, increase of knowledge will be increase of sorrow.” (Impact on Science, p. 120-121)
Filsuf Inggris terkenal diatas menggambarkan kehidupan umat manusia yang semakin meningkat ilmu pengetahua dan keterampilannya, namun senantiasa berada dalam konflik antar kepentingan yang masing-masing berpegang pada niali yang berbeda. Sehingga timbul pertentangan dan benturan antar nilai, mengarah pada kebajikan dengan mengarah pada kejahatan. Jika ilmu pengetahuan dan keteramplan secagai alat untuk mempertahankan kehidupan didasari dengan kebijakan yang seimbang, maka pertambahan penderitaan umat manusia akan berkurang. Namun jika sebaliknya, maka penderitaan dan kesedihan akan bertambah besar.
Bila diproyeksian kemasa kini dimana iptek mdern mengalami kemajuan pesat, maka kehidupan maka kehidupan masyarakat semakin dilanda oleh perbenturan nilai-niai yang established (telah mapan). Seperti nilai-nilai agama atau tradisional dengan nilai-nilai baru akibat dari dampak-dampak positif dan negative kemajuan iptek yang pada dasarnya sekulerita dan pragmatis. Nilai-nilai agama (samawi) yang telah berabad-abad dijadikan sandaran hidup masyarakat beragama yang pada dasarnya bersifat qath’i (tak berubah-ubah), harus mampu menghadai tantangandari nilai-nilai reltivitas-pragmatis dari dampak iptek tersebut.
Perbenturan antara nilai-nilai islami dan non islami yang relativitas itu, pernah terjadi pada masa dunia islam mengalami tingkat perkembangan imu pengetahuan dan teknologi di Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol islam. Namun para ilmuwan, filsuf, ahli piker muslim dalam berbagai bidan ilmu, justru memandang bahwa nilai-nili peradaban baru dunia nonislam saat itu melahirkan inspirasi terhadap kreatiitasbaru untuk mengembangkan prinsip-prinsip kretivitas ilmiah menurut ajaran islam. Kreativitas ilmiah yang bersumber dari kitab suci dan sunnah Nabi SAW, Secara selektif dan inofatif, serta akomodatifterhadap nilai-nilai baru dari luar dijadikan daya dorong serta pemacu terhadap kemajuan peradaban islam ditengah dinamika masyarakat muslim. Dalam masyarakat islam, nilai-nilai islami yang tak pernah mengalami perubahan ialah nilai teologisnya (akidah keimanannya), sedangkan nilai-nilai amaliahnya dapat berubah sesuai tuntutan zaman dan lingkungan.
Dalam hubungan ini jelas sekali apa yang digambarkan oleh Betrand Russel, ahli piker Inggris kenamaan yang pernah melukiskan perbedaan kemajuan peradaban dunia islam dengan dunia Eropa pada abad sebelum Renaissance. Menurtnya supremasi dunia Timur, bukan hanya terletak pada kehebatan angkatan bersenjatanya: namun ilmu pengetahuan, filsafat, kesustraan, dan seninyatelah begitu berkembang pesat dalam dunia islam yang dalam waktu bersamaan Eropa masih tenggelam dalam barbarisme. Orang Eropa menyebut periode ini sebagai zaman kegelapan, yang hanya terjadi di Eropa yang beragam Kristen, sedangkan di Spanyol yang memeluk Islam, telah memiliki peradabanyang cemerlang. Banyak filsuf dan ahli piker Eropa yang melukiskan bahwa dunia islam berkat agamanya dapat berkembang lebih maju dari pada dunia Eropa. Seperti John Davernport, Robert Briffault, Thomas Carlyle, Emmanel Deutch, H.A.R. Gibb, dan lain-lain dari kaum orientalis Eropa. Mereka menggambarkan tentang kehebatan islam yang dengan nilai-nilai samawinya, mampu menggerakan ummat menjadi dinamis, maju lahir dan batin.
Dalam proses interaksi antara nilai-nilai lama dan baru itu, factor yang menentukan survive (tetap hidup berkembang) atau tenggelamnya adalah daya rentangan nilai-nilai itu sendiri. Nilai dalam batas-batas konfigurasinya sehingga mampu berkulturisasi terhadap nilai-nilai baru dari luar. Ciri nilai demikian terbukti pengalamanya dalam dunia islam zaman keemasan yang lalu.
Dalam masyarakat modern teknologi memegang peranan dalam kehidupan dinegara-negara industri Barat dan Timur. Pada saat iptek menjadi sumber kekuatannya, untuk itulah nilai agama samawi harus mampu berfungsi secara actual sebagai filter, selector, dan pengontrol terhadap akibat nilai-nilai yang ditimbulkan oleh kemajuan iptek tersebut.
Dengan demikian, perbenturan nilai-nilai internal-intrinsik baik atau buruk menurut norma-norma islam, dapat teralisasikan secara harmonis dalam masyarakat islam tanpa menimbulkan ekses-ekses ketegangan mental spiritual yang menggejala kedalam prilaku negative, destruktif dalam kehidupan moral dan sosial. Para ulama dan ilmuan muslim khususnya telah berhasil meletakan prinsip hidup dalam menghadapi tantangan kemajuan iptek dengan semangat. “tetap memelihara nilai-nilai tradisional lama yang terbukti baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang paling baik” (al-muhafdzatu ‘alaa al qadiem al sholih, wa al ahdzu bi al jadid al ashlah).
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
·         Pendidikan islam adlah proses transinternalisasi nilai-nilai islam kepada peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan didunia dan akhirat.
·         Visi dan misi pendidikan islam bersumber pada visi dan misi ajaran islam, karena hakikat pendidikan islam adalah memasyarkatkan ajaran islam agar dipahami, dihayati dan diamalkan oleh umat manusia, sehingga tercapai kebahagiaan hidup secara seimbang, dunia dan akhirat.
·         Saat ini terdapat lembaga pendidikan islam yang tergolong unggul, maju dan diakui dunia internasional, dan  terdapat pula lembaga pendidikan islam yang tergolong kurang maju, bahkan nyaris bubar. Hal yang demikan terjadi karena lembaga pendidika islam tersebut tidak memiliki visi dan misi pendidikan, namun tidak ada kemauan untuk melaksanakanannya.
·         Adapun problematika pendidikan islam yang sedang dihapi umat islam adalah hancurnya pilar-pilar pendidikan karakter dan perbenturan antara nilai-nilai kehidupan manusia. Keduanya timbul karena semakin maju dan perkembangan peradaban manusia yang meliputi kemajuan ilmu teknologi dan informasi.

2.      Daftar Pustaka
1)      Nata, Abudin, M.A. Ilmu Pendidikan Islam: Kencana Prenada Media Group.
2)      Arifin, Muzayyin, M.Ed. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
3)      Mujib, Abdul, M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam: Kencana Prenada Media Goup.
4)      Nata, Abudin, M.A.2013. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada.



[1] Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. “Ilmu Pendidikan Islam”.(Kencana Prenada Media Group), h. 10-22.
[2] Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. “Ilmu Pendidikan Islam”.(Kencana Prenada Media Group), h. 25-29.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. “Ilmu Pendidikan Islam” (Kencana Prenada Media Group), h. 40-53.
[4] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2013 “Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam.” (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 149-156.
[5] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. 2008, “Kapita Selekta Pendidikan Islam” (Jakarta: Bumi Aksara), h. 57-62.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Hadits Kontemporer Muhammad Syuhudi Ismail

Makalah pendidikan agama islam tentang jujur