Pemikiran Hadits Kontemporer Muhammad Syuhudi Ismail


MUHAMMAD SYUHUDI ISMAIL
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada
Mata Kuliah “Pemikiran Hadits Kontemporer”

Oleh:
MULYANITA
Dosen Pengampu:

Dr. Fuad Thohari, MA


Program Studi Tafsir Hadits
Magister fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2017


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Penulis memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan ampunan kepada-Nya, dan penulis memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri penulis, dan kejelekan perbuatan-perbuatan penulis.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad SAW yang mulia, dan juga kepada para sahabat dan pengikutnya yang melaksanakan sunnahnya sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini merupakan hasil karya penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pemikiran Hadits Kontemporer.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala keterbatasan dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk kemajuan penulis selanjutnya.


Wassalamu’alaikum Warohmatullah
                 Mulyanita

  

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kesepakatan ulama bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diajarkan kepada umatnya, sebagian besar ayat-ayatnya masih bersifat global, tidak rinci. Misalnya, ketika al-Qur’an memerintah shalat, ia tidak menerangkan cara-cara melaksanakannya, tidak menerangkan apa saja yang menjadi syarat-syarat sahnya dan tidak pula menjelaskan apa saja yang menjadi rukun-rukunnya. Demikian pula, al-Qur’an memerintah zakat, namun tidak memaparkan batasan jumlah minimal harta yang wajib dizakati, ukuran dan syarat-syaratnya. Semua itu tentunya membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW., dalam statusnya sebagai pembawa risalah Allah. Keterangan Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan, itulah yang biasa dikenal dengan istilah Hadis Nabi.Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Kami (Allah) turunkan kepada engkau (Muhammad) peringatan (al-Qur’an), agar engkau menerangkan kepada manusia apa (maksud) yang diturunkan kepada mereka itu, dan agar mereka itu berpikir.” Karena itu, hadis Nabi merupakan hujjah dalam syari’at Islam, setelah al-Qur’an.[1]
Adapun perkembangan ilmu hadits di Indonesia jika dilihat dari sejarah pengajaran dan penulisan ilmu hadits pertama kali diadakan adalah di masjid, mushola dan surau. Setelah itu berkembang ke tempat yang lebih khusus yaitu pesantren yang merupakan sekolah pada zaman modern tetapi menggunakan metode halaqqah atau mempelajari ilmu sambal duduk di dalam lingkaran di mana murid-muridnya duduk mengelilingi guru. Selanjutnya pesantren berkembang dari hanya duduk di lantai hingga menggunakan bangku panjang serta menggunakan meja untuk menulis. Pada tahap ini, peralatan untuk mengaji yang diperlukan adalah buku bacaan, buku untuk menulis, alat tulis dan sebagainya. Bahan pengajaran untuk ilmu hadits hamper semuanya mengguanakan Bahasa Arab yang tidak berbaris atau kitab kuning serta Arab jawi atau tulisan Arab dengan mengguanakan Bahasa Melayu, atau dikenal juga dengan Bahasa Arab Melayu.[2]
Di Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail dikenal sebagai seorang mubaligh, tokoh masyarakat, dan ilmuan Islam yang memiliki akar tradisi intelektual yang sangat kuat, menguasai berbagai bidang ilmu keislaman serta memiliki dedikasi tinggi terhadap pengembangan ilmu hadis di Indonesia. Pemikirannya yang berkaitan dengan pengembangan kajian hadis banyak diartikulasikan melalui sejumlah buku artikel dan makalah yang dituliskannya melalui media lokal dan nasional. Tidak kurang dari 164 judul karya ilmiah yang dihasilkannya, baik dalam bentuk risalah ilmiah, buku, hasil penelitian, nota/catatan, makalah, naskah pidato, artikel, skripsi dan disertasi. Karya yang dihasilkannya tidak hanya terbatas dalam bidang hadis, akan tetapi termasuk dalam bidang fiqh, ilmu falak, pemikiran, dan bidang-bidang ilmu lain. Ditambah lagi tiga buah karya berjilid dan tiga belas sumbangan maklumat untuk Ensklopedi Islam. Di antara karya-karya Syuhudi tersebut, sekitar delapan buah telah menjadi buku utama dalam mata pelajaran hadis dan ilmu hadis di seluruh Fakultas Agama di Indonesia, khususnya jurusan Ilmu Hadis atau Tafsir Hadis, misalnya Pengantar Ilmu Hadis (1987) dan Ulumul Hadis (1992).[3] Bahkan di beberapa Perguruan Tinggi Islam karya-karyanya banyak menginsprasi dan memberi pengaruh besar pada penulisan skripsi, tesis disertasi dan karya ilmiah lainnya.
Di UIN Alaudin Makasar contohnya, sebuah penelitian menyatakan bahwa faktor utama yang melatarbelakangi mahasiswa ilmu hadits untuk memilih kajian skripsi mereka terhadap penelitian atau kritik sanad dan matan hadits adalah munculnya karya-karya imiah dari para tokoh ilmu hadits di Makassar seperti Syuhudi Ismail di penghujung dekade 80-an dan selanjutnya menunjukkan geliatnya di awal tahun 1990-an.[4]
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin lebih dalam lagi menguraikan dan memperkenalkan kembali Muhammad Syuhudi Ismail, tokoh hadits kontemporer yang berasal dari Indonesia yang dikenal juga sebagai seorang yang prolific, ensklopedik dan Ijtihad. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:
B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi dan Riwayat Hidup M. Syuhudi Ismail
2.      Karir dan karya M. Syuhudi Ismail
3.      Konstribusi dan Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam Dunia Hadits





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi dan Riwayat Hidup Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
Nama lengkapnya adalah Muhammad Syuhudi Ismail. Beliau dilahirkan pada tanggal 23 April 1943,15 di Rowo Kangkung,16 Lumajang, Jawa Timur. Syuhudi merupakan putera kedua daripada pasangan H. Ismail dan Sufiyatun,17 Keduaduanya adalah saudagar yang taat dalam beragama.18 Bapaknya bernama H. Ismail bin Mistin bin Soemoharjo berasal dari suku Madura dan meninggal dunia pada tahun 1994 M,19 sedangkan ibunya bernama Sufiyatun binti Ja’far yang berasal dari suku Jawa dan meninggal dunia pada tahun 1993M. Kakeknya Syuhudi (M. Jakfar) dikenal sebagai pendekar yang berasal dari Ponorogo dan pernah menjadi polisi Belanda. Dengan demikian, Syuhudi lahir dari keluarga yang berada dan beragama serta dari golongan “pendalungan’ (kawin campur) antara suku Madura dan Jawa.Hal itu berarti bahwa beliau memiliki karakteristik sebagai orang Madura dan sebagai orang Jawa yang taat beragama.[5]
Kehidupan Pada Masa kecilnya Syuhudi dibesarkan di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa Timur. Masa kecilnya dihabiskan dalam menuntut ilmu, meskipun ada waktunya diluangkan untuk kegiatan bermain seperti kebiasaan kanak-kanak yang lainnya, akan tetapi dominannya masanya digunakan dalam menimba ilmu duniawi dan ukhrawi. Pendidikan awal M. Syuhudi Ismail dimulai dari Sekolah Rakyat Negeri (SRN), tepatnya ketika ia berusia enam tahun, yaitu pada tahun 1949 M. Selama enam tahun ia memperoleh Pendidikan dasar di Sidorejo, yang masih berada di sekitar kabupaten Lumajang, sampai pada tahun 1955. Hingga pada akhirnya ia memperoleh ijazah di sekolah tersebut. Di samping itu, M. Syuhudi Ismail juga mendalami ilmu-ilmu keagamaan di waktu pagi dan sore hari melalui bimbingan orang tuannya dan seorang ulama dari salah satu pesantren di Jember, Jawa Timur, yang bernama Kiayi Mansyur. Pada kiayi Mansyur, M. Syuhudi Ismail sangat tekun dan giat belajar, hingga ia mampu mempelajari dan menguasai berbagai ilmu agama. Pasca memperoleh ijazah keguruan agama, ia diminta ayahnya untuk mengabdiakn diri mengajar di sebuah madrasah di daerahnya, Rowo Kangkung. Namun permintaan ayahnya tersebut ditolak denagn alasan karena ia masih ingin menimba ilmu, dan memeperdalam pendidikan formalnya.[6] Oleh karena itu, setelah menamatkan Sekolah Rakyat Negeri (6 Tahun), dan kemudian menamatkan pendidikanya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Malang selama 4 tahun dan tamat pada tahun 1959. Selanjutnya ia meneruskan Sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta selama 3 tahun dan amat pada tahun 1961.[7]
Sebagai seorang ayah yang bijak dan memahami, H. Ismail merelakan kepergian anaknya untuk menuntut ilmu. Namun, beliau berpesan agar senantiasa berdisiplin, bekerja keras, melakukan ibadah pada awal waktu dan mencari tempat tinggal yang berdekatan dengan Masjid. Akhirnya, dengan semangat dan tekad yang tinggi setelah beliau sukses menyelesaikan pendidikannya di PHIN pada tahun 1961. Dalam tahun tersebut juga, Syuhudi dipilih menjadi salah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bagian Pengadilan Agama di Ujungpandang, Sulawesi Selatan. Meskipun berstatus sebagai seorang pekerja pemerintahan yang kebanyakkan jadwal tugasnya dipenuhi dengan kegiatan masyarakat. Namun, semangatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak berhenti begitu saja. Selanjutnya Syuhudi melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Cabang Makassar (kemudian menjadi IAIN “Alauddin” Ujungpandang). Pada tahun 1965, impiannya untuk melanjutkan pendidikannya direalisasikan di mana beliau memperoleh ijazah Sarjana Muda dengan risalah ilmiah yang berjudul: “Tempus Delictus Dalam Hukum Pidana Islam.” Kemudian, pada tingkat pendidikan Sarjana Lengkap beliau melanjutkan pendidikan di Fakulti Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang dan tamat pada tahun 1973 dengan Skripsi (kertas kerja ilmiah) yang berjudul: “Pelaksanaan Syari’at Islam di Indonesia.[8]
Kemudian beliau mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya (S-2) pada program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tamat pada tahun 1985. Kemudian ia meneruskan studinya (S-3) pada lembaga yang sama dan tamat pada tahun 1987,[9] dengan judul diseratsi “Kaidah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah”. Karya beliau tersebut mendapatkan tanggapan baik dari berbagai pihak, sehingga beberapa penerbit berkeingian untuk menerbitkan karyanya itu. Di sisi lain Prof. Dr. M. Quraish Shihab, salah seorang dosen promotor karya M. Syuhudi Ismail tersebut memberikan komentar bahwa M. Syuhhudi Ismail adalah peraih gelar doktoral ilmu hadits pertama yang dihasilkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memperoleh yudisium “amat baik”. Ia juga memperoleh piagam sebagai “Doktor Terbaik” dari rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam acara wisuda di lembaga tersebut. Lebih jauh, M. Syuhudi Ismail merupakan satu-satunya mahasiswa yang memperoleh dua predikat kehormatan akademik sepanjang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta melaksanakan program doktornya,[10] baik untuk program “bebas” maupun program pendidikan Fakultas Pascasarjana. Disertasi ini telah berhasil membuktikan bahwa kaedah kesahihan sanad atau kritik ekstern yang dipakai oleh kebanyakan (jumhur) ulama hadis untuk meneliti sahih dan tidak sahihnya suatu sanad hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Ketika berusia 22 Tahun, tepatnya pada tahun 1965 M., beliau menikahi dengan seorang gadis berdarah Bugis (Sidrap), yaitu Nurhaedah Sanusi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniakan empat cahaya mata, akan tetapi yang masihhidup hanya tiga orang, yaitu: Yunida Indriani, S.E., Khairul Muttaqien, Muh. Fuad Fathani. Sementara, isterinya yang tercinta, Nurhaedah Sanusi meninggal dunia pada sekitar awal tahun 1972. Pada penghujung tahun itu juga, beliau meminang Habiba Sanusi (kakak kandung Nurhaeda). Manakala, dari perkawinannya yang kedua itu, beliau dikaruniakan dua putera yaitu Muh.Ahsan dan Muh.Irfan. Pernikahan yang kedua Syuhudi mengalami permasalahan di mana, sebagai seorang suku kaum Jawa dan Madura, prinsip keluarga Syuhudi pamali (pemali) yang melarang dalam menikahi saudara sekandung. Disebabkan prinsip tersebut bukannya dari ajaran agama Islam dan demi masa depan anaknya, maka Syuhudi dengan rela menikahi kakak iparnya (Habiba Sanusi). Hal ini, membuktikan bahwa semangat keagamaan yang tinggi dapat menandingi tradisi yang tidak seiring dengan landasan agama Islam yang dianutinya. Pada hari Ahad, 19 November 1995, yaitu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Syuhudi telah wafat dan dikebumikan pada hari Senin, 20 November 1995 di tanah Pekuburan Islam (Arab) Bontoala, Ujung Pandang.[11]

B.     Karir dan karya M. Syuhudi Ismail
Bila melihat M. Syuhudi Ismail lebih dekat bagaimana aktivitasnya ketika ia masih hidup, maka dapatlah dikatakan beliau tergolong sangat aktif dan sibuk. Selain tugas-tugasnya sebagai pegawai dan staf pengajar, M. Syuhudi Ismail juga termasuk rajin dan giat menulis pemikirannya dalam bentuk makalah penelitian, bahan pidato, artikel, diktat maupun buku, baik untuk kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung Pandang sendiri, atau untuk forum lainnya, maupun untuk dimuat dalam majalah atau surat kabar yang terbit di Ujung Pandang dan Jakarta, serta buku yang sudah diterbitkan dan dipublikasikan secara nasional. Agar mendapat gambaran secara utuh berkenaan karya-karya tulisnya, terutama yang relevan dengan topik tulisan ini, maka berikut ini akan diuraikan hasil karyanya dengan membuat klasifikasinya kepada empat kelompok, yaitu:[12] 
1.      Dalam bentuk makalah
2.      Dalam bentuk artikel
3.      Dalam bentuk eksiklopedi
4.      Dalam bentuk karya buku yang sudah diterbitkan
Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menguraiakan karyanya satu persatu.
1.      Dalam bentuk makalah
Adapun penulisan makalah yang dibuat oleh M. Syuhudi Ismail yang tidak diterbitkan cukup banyak, hanya saja makalah tersebut keseluruhannya dibuat di Ujung Pandang. Judul-judul makalah tersebut antara lain sebagai berikut:[13]
1)      Metode dakwah menurut sunnah Rasulullah (Ujung Pandang, 1974).
2)      Beberapa teori kepemimpinan (Ujung Pandang, 1974).
3)      Mahasiswa yang bertanggung jawab (Ujung Pandang, 1975).
4)      Kepemimpinan Nabi Muhammad s aw. (Ujung Pandang, 1977).
5)      Sekitar awal hisab bulan (Ujung Pandang, 1977). 
6)      Masalah al - Jarh wa at -Ta’dil dalam penelitian hadis (Ujung Pandang, 1977).
7)      Waktu salat dan arah kiblat (Ujung Pandang, 1977).
8)      Al - Mat-ridi, sejarah hidup dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
9)      Sokrates dan filsafatnya (Ujung Pandang, 1978).
10)  Syah Waliyullah ad - Dahlawi, sejarah hidup dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
11)  ‘Usmaini muda, pemuka-pemuka penting dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
12)  Sebab - sebab orang Islam memasuki aliran kebatinan (Ujung Pandang,1978).
13)  Syihab ad-dinSuhrawardi al-Maqt (Ujung Pandang, 1979).
14)  Administrasi perkantoran (Ujung Pandang, 1980).
15)  Sistem pemahaman dan pendekatan al-I ads (Ujung Pandang, 1982).
16)  Etika Islam dan rumah tangga (Ujung Pandang, 1982).
17)  Sekitar landasan dan peng alaman kaum Sufi dan kaum Syari ‘ah (Ujung Pandang, 1982).
18)  Beberapa hadis populer dalam masyarakat (Ujung Pandang, 1982).
19)  Penerapan arah kiblat pada bangunan masjid (Ujung Pandang, 1982).
20)  Pelaksanaan hisab dan ru’yah awal bulan (Ujung Pandang, 1982).
21)  Ijtihad masa lalu dan kemungkinannya masa kini (Ujung Pandang, 1982).
22)  Organisasi dan administrasi perkantoran (Ujung Pandang, 1983).
23)  Islam dilihat dari segi ajaran dan agama (Ujung Pandang, 1984).
24)  Islam dan berwiraswasta (Sengkang, Sulawesi Selatan, 1991).
25)  Sumber daya manusia dalam pembangunan menurut perspektif Islam (Ujung pandang, 1992)
26)  Muballig dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (Ujung Pandang, 1994).
27)  Zakat al-fitri menurut petunjuk hadis Nabi (Ujung Pandang, 1994).
28)  Sekitar pengentasan kaum Muslimin menurut petunjuk hadits Nabi (Watampone, 1995)
2.      Dalam Bentuk Artikel
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk artikel yang dipublikasikan di berbagai
media cetak dalam bentuk surat kabar dan majalah, baik di Ujung Pandang maupun di Jakarta adalah cukup banyak. Berikut ini akan dikemukakan judul-judul artikel tersebut sebagai berikut:[14]
1)      Imam al - Bukhari dan beberapa keistimewaannya (Surat kabar, Jakarta, 1975).
2)      Pria, Wanita, Neraka dan Surga (Majalah, Jakarta, 1975).
3)      Kebahagian menurut Aristoteles dan Islam (Majalah, Ujung Pandang, 1979).
4)      Syah Waliyullah ad - Dahlawi, pembaharu pemikiran Islam di India (Majalah, Jakarta, 1979).
5)      Maka pemu da itu tidak lagi mau berzina (Majalah, Jakarta, 1980).
6)      Benci tetapi rindu (Majalah, Jakarta, 1981). 
7)      Jadilah suami yang baik (Majalah, Jakarta, 1982).
8)      Hadis sahih benar - benar teruji secara ilmiah (Harian Pelita, Jakarta, 1987).
9)      Kesahihan sanad hadis lebih kritis dibanding ilmu sejarah (Harian Kompas, Jakarta, 1987).
10)  Operasi plastik perbuatan dilaknat Nabi (Harian Pedoman Rakyat, Ujung Pandang, 1988).
11)  Kasus euthanasia dalam pandangan Islam (Mimbar Karya, Jakarta, 1989).
12)  Sewa rahim haram menurut hukum Islam (Harian Pedoman Rakyat, Ujung Pandang, 1989).
3.      Dalam Bentuk Penulisan Eksiklopedi
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk eksiklopedi adalah atas permintaan Departemen Agama, yakni bentuk sumbangan pemikirannya berupa entry. Berikut ini dikemukakan judul-judul dari entry tersebut sebagai berikut:[15]
1)      Hadis
2)      Hadis Sahih
3)      Hadis Hasan
4)      Hadis Dha’if
5)      Ab- Hurairah
6)      Tabi’in
7)      Ab- Manr al-Maturidi
8)      Ibn Majah
9)      At - Tirmizi.

4.      Dalam Bentuk Buku
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk buku yang telah diterbitkan dan dipublikasikan, disini penulis akan memberikan penjelasan singkat terhadap buku-buku tersebut, sebagai informasi awal dalam rangka meneliti pemikirannya. Adapun buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:[16]
1)      Kaidah kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta, 1988 M)
2)      Pengantar Ilmu Hadis (Angkasa, Bandung, 1988 M)
3)      Dampak Penyebaran Hadis Palsu (Berkah, Makasar, 1989 M)
4)      Cara Praktis Mencari Hadis (Bulan Bintang, Jakarta, 1991 M)
5)      Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Bulan Bintang, Jakarta, 1993)
6)      Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Bulan Bintang, Jakarta, 1994)
Dalam berinteraksi sosial, Syuhudi sangat terbuka, artinya bergaul dengan siapa saja tanpa memandang golongan, apakah itu Nahdiyin maupun orang tersebut Muhammadiyah.Hal ini dapat dilihat ketika Syuhudi menjadi mahasiswa di PHIN. Dimana tenaga pengajar di lembaga pendidikan tersebut pada umumnya berasal dari kalangan Perserikatan Muhammadiyah. Selain itu, keterbukaannya ditunjukkan dengan keinginannya untuk menetap di Masjid Ta’mirul Masajid, yaitu sebuah masjid yang terbesar Muhammadiyah pada tahun 1962 dan mendalami ilmu agama dengan Dr. Madjidi, yaitu salah seorang tokoh Muhammadiyah terkemuka di Ujungpadang.
Ketertarikannya dalam bidang politik tumbuh sejak beliau menjadi Mahasiswa IAIN Yogyakarta Cabang Makassar.Di mana pada saat itu beliau bergabung dengan barisan Kesatuan Mahasiwa Muslim Indonesia (SEMMI), yaitu sebuah organisasi mahasiswa di bawah naungan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pengalaman beliau dalam SEMMI menjadikan Syuhudi aktif berpolitik sehingga terpilih menjadi Ketua I Pemuda Muslim Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan (1965-1969), Sekretaris Umum PSII Selawesi Selatan (1970-1973) dan anggota DPRD termuda Tingkat I Sulawesi Selatan (1966-1973.
Karir politiknya berakhir ketika PSII bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada bulan Januari 1973. Setelah mengakhiri karir politiknya, kegiatan Syuhudi terfokus pada pengembangan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Namun sebagai seorang yang pernah menjadi ahli politik, tentunya trilogi Syarikat Islam yang dianutnya tetap teguh beliau jalankan, yaitu (1) sebersih-bersih tauhid; (2) setinggi-tinggi ilmu pengetahuan; (3) sepandai-pandai siyasah. Dalam hal ini terlihat pada sikap beliau yaitu mengundurkan diri dari ranah politik praktis yang dianggapnya tidak menguntungkan lagi; pemahaman kontekstual terhadap hadis Nabi dan konsentrasi pada pengembangan IAIN Alauddin Ujungpandang; dan keterikatannya dengan sang khalik tetap menjadi landasan dalam perjuangan. Sementara komitmen keilmuaannya terlihat dari pesan-pesannya kepada anak-anaknya, bahwa “belajar adalah tugas pokok, karena beliau tidak meninggalkan harta warisan kecuali meninggalkan sejumlah buku dan kitab sebagai bekal ilmu pengetahuan.”
Upaya yang dilakukannya dalam bidang pendidikan adalah membina Fakultas Syari’ah secara intensif dan mempersiapkan calon-calon Hakim Agama yang handal, menyelesaikan Program Doktor, dan membuka Program pascasarjana IAIN Alauddin dengan konsentrasi ilmu-ilmu kesumberan, Tafsir dan Hadis sejak 1989 bersama kawan-kawannya. [17]

C.    Konstribusi dan Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam Dunia Hadits
Berdasarkan dari karya-karya M. Syuhudi Ismail yang telah penulis sebutkan sebelumnya, sangat jelas bahwa beliau adalah seorang yang tokoh ilmuwan Indonesia yang prolifik dan ensiklopedik. Karyanya dalam bentuk buku menjadi referensi utama pada mata kuliah Ilmu hadits di Perguruan Tinggi Islam Indonesia dan menjadi karya terpenting. Dikatakan terpenting karena karya-karya tersebut berpengaruh dalam perkembangan kajian hadis di Indonesia, yaitu mengubah peta kajian hadis, khususnya kajian hadis di PTAI Indonesia, dari kajian yang terfokus pada kritik sanad saja menjadi kajian kritik sanad dan matan. Inilah bukti aspek prolifik dan ensiklopedik bagi tokoh ilmuan Indonesia yang berasal dari Lumajang ini.
Di antara pemikirannya adalah beliau memperkenalkan penggunaan istilah kaedah mayor dan kaedah minor sebagai acuan, baik pada sanad maupun matannya. Semua syarat, kriteria, atau unsur yang berstatus umum pada sanad atau matan dikategorikan kaedah mayor, sedangkan yang berstatus khusus dikategorikan sebagai kaedah minor. Pemikiran yang lainny ayang menyangkut dengan metode pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul “Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual: telaah ma’ani al-hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal. ”Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus.Ini menunjukkan bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal, temporal dan lokal.[18]
Mengenai kemutasilan sanad, M. Syuhudi Ismail berpendapat bahwa perawi yang berkualitas tsiqah ialah perawi yang dinilai dengan alfâz al-ta’dîl dalam tingkat kesatu, kedua dan ketiga, yakni lafal “Fulan adalah perawi yang paling tsiqah”, “Fulan adalah perawi yang tsiqah lagi hujjah”, “Fulan adalah perawi yang tsiqah”, atau lafal-lafal lain yang semisal. Kaitannya dengan kemuttasilan sanad hadis, perawi-perawi yang berkualitas inilah yang telah memenuhi syarat. Bahkan disyaratkan pula bahwa perawi yang tsiqah itu tidak termasuk perawi yang mudallis, yakni perawi yang suka menyembunyikan cacat hadis. Dalam hal ini, M. Syuhudi Ismail mengatakan: “Selain itu, ada periwayat yang dinilai ṡiqah oleh ulama ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila ia menggunakan lambang periwayatan haddaṡani atau sami’tu, sanadnya bersambung, tetapi bila menggunakan selain kedua lambang tersebut, sanadnya terdapat tadlîs (penyembunyian cacat). Periwayat yang ṡiqah, namun bersyarat itu, misalnya ‘Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij, yang dikenal dengan sebutan Ibn Juraij (wafat 149/150 H.)”.
Alhasil, menurutnya, suatu sanad barulah dapat dinyatakan bersambung (muttasil) apabila seluruh perawi dalam sanad itu dinilai oleh ulama dengan alfâz al-ta’dîl dalam tingkat pertama, kedua dan ketiga, dan tidak dinilai mudallis (dalam kasus tertentu). Selain itu, dalam sanad tersebut masing-masing perawi dengan perawi sebelumnya itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadis.[19]
Tentang aspek ijtihadi Muhammad Syuhudi Ismail, khususnya di bidang pemahaman hadis dan metodelogi pemahaman hadis dapat ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran beliau dalam menganalisis fikih hadis khususnya melalui karyanya yang dicetak atau artikel yang dimuat pada koran-koran nasional. Aspek ijtihadi beliau, melalui karyanya dalam mengkaji fikih hadis tentang persoalan kontemporer seperti bedah plastik, sewa rahim, kepemimpinan perempuan dan lain-lain. Maka terlihat bahwa Syuhudi cenderung sebagai tokoh pemikir yang “revivalis” atau “modernis tradisionalis”. Artinya pembaharuan yang beliau tawarkan masih terikat kuat dengan penafsiran-penafsiran lama, berusaha menghidupkan kembali penafsiran-penafsiran tersebut. Namun, beliau masih membuka diri terhadap kemajuan peradaban Barat dalam porsi yang sangat terbatas. Sementara salah satu sisi menarik lain tentang Syuhudi adalah beliau seringkali melontarkan pemikiran yang kadang kala berbeda dengan pandangan ulama hadis sebelumnya yang telah dianggap mapan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i, misalnya tentang keadilan Sahabat. Mayoritas ulama hadis menyebutkan bahwa para sahabat semua adil sementara Syuhudi menolak premis ini. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas beberapa hukum yang dihasilkan dari analisis fikih hadis Muhammad Syuhudi Ismail yang terdapat di dalam karyanya.[20]
a.       Kepemimpinan Perempuan:
“Usman bin al-Haisam menceritakan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami, dari Hasan, dari Abi Bakrah berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw. pada perang Jamal setelah saya hampir ikut serta dalam perang Jamal lalu berperang bersama mereka, Abi Bakrah berkata: Ketika sampai berita kepada Rasulullah Saw. bahwa penduduk Persia telah mengangkat bintu Kisra sebagai Ratu, Rasulullah bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita.”
Berpegang kepada hadis ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa hadis ini memberikan isyarat bahwa perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, termasuk hakim atau berbagai yang setingkat. Pertimbangan mereka adalah diantara syarat menjadi pemimpin adalah “al-zukurah” sifat lakilaki. Selain itu, menurut petunjuk syara’ wanita hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suami. Sementara menurut Muhammad Syuhudi Ismail, dengan mempertimbangkan sosio historis, Nabi sebagai seorang yang memiliki kearifan menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan yang tidak akan sukses. Sebab bagaimana mungkin sukses, jika pemimpinnya saja adalah orang yang tidak dihargai oleh masyarakatnya. Padahal salah satu syarat ideal seorang pemimpin adalah kewibawaan, disamping mempunyai kepemimpinan (leadership) yang mempuni. Sementara perempuan saat itu dipandang tidak mempunyai kepemimpinan dan kewibawaan untuk menjadi atau menjabat sebagai pemimpin masyarakat.
Namun jika sebaliknya, yaitu kondisi historis, sosiologis, dan antropologis masyarakat berubah, di mana perempuan telah memiliki kemampuan memimpin yang baik, dan masyarakat pun telah dapat menghargai perempuan dengan baik dan menerimanya sebagai pemimpin, maka boleh saja perempuan diangkat menjadi seorang pemimpin. Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum perempuan makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum perempuan diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberi peluang sama kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan. Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, hadis di atas harus dipahami secara kontekstual sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.
b.      Bedah plastik
“Dari Abdullah berkata: Allah telah melaknat orang-orang yang memakai tahi lalat palsu dalam bentuk tato, orang yang mencukur alisnya, dan meratakan gigi dengan kikir untuk mempercantik diri dengan mengubah apa yang telah dijadikan Allah.”
Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi plastik yang dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk perbuatan yang dilaknat oleh Nabi Muhammad Saw. tetapi jika hal tersebut dimaksudkan untuk pengobatan atau menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan, maka hukumnya boleh. Beliau menambahkan bahwa, kita memang harus hati-hati dalam menetapkan ‘illat suatu hukum, dan untuk memahami hadis di atas, kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab terjadinya hadis tersebut dan latar belakang penetapan hukum yang dikehendaki oleh Nabi Saw.  Illat keharaman pembuatan tahi lalat palsu dan sebagainya untuk kepentingan kecantikan adalah karena perbuatan itu telah mengubah apa yang telah dijadikan Allah. Harum-haruman, perhiasan, dan atau semir rambut sama sekali tidak mengubah jasad manusia. Karena itu, hal tersebut tidak dapat dianalogikan dengan operasi plastik untuk maksud kecantikan.
c.       Pemimpin dari Suku Quraisy
“Dari Nabi Saw. Bersabda: Dalam urusan beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini orang Quraish selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun mereka tinggal dua orang saja.”
Menurut Syuhudi, apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis dinyatakan, Nabi dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan misalnya petunjuk al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan Suku Quraish memang bukan ajaran dasar dari Islam yang dibawa oleh Nabi; Hadis ini dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal.
d.      Rukyat dan Hisab
“Berpuasalah kamu sekalian karena telah melihat bulan (tanggal satu Ramadhan); dan berhari rayalah setelah kamu sekalian melihat bulan (tanggal satu Syawal). Apabila (cuaca di langit menjadikan bulan) terlindungi dari (pemandangan) kamu sekalian, maka sempurnakanlah (bilangan hari untuk) bulan Sya’ban (menjadi) tiga puluh hari.”
Menurut Syuhudi, perintah Nabi untuk memulai puasa dan berhari raya atas dasar melihat bulan tanggal satu Qamariyah dengan penglihatan mata kepala (rukyah al hilal bi al-ain) adalah atas pertimbangan keadaan umat Islam pada waktu itu. Mereka belum mampu melaksanakan kegiatan hisab awal bulan Qamariah dan belum mungkin memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih karena alat-alat yang demikian itu belum dikenal. Kalau umat Islam telah mampu, maka penyaksian tanggal satu Qamariah boleh dengan menempuh kegiatan hisab yang sangat teliti dan menggunakan alat yang berteknologi canggih. Dengan demikian, perintah berpuasa berdasarkan penyaksian tanggal satu bulan Qamariah dengan mata kepala (rukyah alhilal bi al’ayn) tersebut bersifat dan berlaku secara temporal. Tatkala umat Islam telah memiliki pengetahuan dan teknologi tinggi, maka pengetahuan dna teknologi tersebut boleh dan bahkan harus digunakan untuk menyaksikan bulan tanggal satu Ramadhan dan lain-lain.
Adapun ijtihad Syuhudi pada pengembangan ilmu hadis adalah sebagai berikut;
1.      Pemikiran tentang Kaedah Kesahihan Sanad
Untuk mengkaji sanad hadis, Syuhudi menawarkan langkah-langkah sistimatis dalam kedudukannya sebagai salah satu kaidah yang bersifat ilmiah. Langkah-langkah tersebut tersusun sebagai berikut:
1)      melakukan takhrij alhadits
2)      melakukan al-itibar
3)      meneliti terhadap pribadi periwayat dan metode periwayatannya, meliputi
a)      Segi-segi periwayat, yakni kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya;
b)      Segi-segi persambungan sanad, yakni lambang-lambang metode periwayatan dan hubungan periwayat dengan metode periwayatan; dan
c)      meneliti syuzuz dan ‘illat sanadnya.
4)      Menyimpulkan hasil penelitian. Dalam penelitian sanad ini, Syuhudi menyebutkan tentang unsur-unsur kaedah kesahihan sanad dengan istilah yang disederhanakan “kaidah mayor dan minor”.  Meskipun tawarannya agak sedikit berbeda dengan yang dianut selama ini oleh ulama hadis, tapi kerangka acuan yang dipakai masih tetap sama. Kalangan ulama menetapkan sedikitnya lima unsur kaidah mayor kesahihan sanad hadis, yakni:
a)      Sanad bersambung
b)      Periwayat bersifat adil
c)      Periwayat bersifat dhabith
d)      Terhindar dari syuzuz,
e)      Terhindardari ‘illat.
Sementara Syuhudi hanya menetapkan tiga unsur mayor, yakni:
a)      Sanad bersambung
b)      periwayat bersifat adil
c)      periwayat bersifat dhabith atau tamm dhabith.
Adapun terhindar dari syudzudz dan ‘illat dimasukkan-nya sebagai unsur minor bagi periwayat yang bersifat dhabith atau tamm al-dhabith.
2.      Pemikiran tentang Penelitian Matan
Pada aspek penelitian tentang matan hadis langkah-langkah sistimatis yang ditawarkan beliau adalah sebagai berikut:
1)      Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
2)      Meneliti susunan lafadh berbagai matan yang semakna
3)      Meneliti kandungan matan; dan
4)      Meyimpulkan hasil penelitian. acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan matan hadis . Adapun kaidah mayor bagi matan
yang sahih adalah terhindar dari syuzuz dan illat.
3.      Pemikiran tentang Pemahaman Kandungan Hadis
Syuhudi dalam memahami hadis Nabi cenderung tematik (syarh al-maudhui) dengan pendekatan holistic (terpadu dan menyeluruh). Beliau menekankan pemahaman terhadap hadis Nabi dengan mempertimbangkan beberapa hal, yakni:
a)      Segi bentuk matan dan cakupan petunjuknya
b)      Fungsi dan kedudukan Nabi Saw, dan
c)      Segi latar belakang terjadinya. Selain itu, mempertimbangkan petunjuk hadis Nabi yang tampak bertentangan juga sangat diperlukan
Di dalam salah satu bukunya yang berjudul “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal”, Syuhudi Ismail menyampaikan bahwa manusia pada setiap generasi mempunyai beberapa kecenderungan-kecenderungan, yaitu; persaman, perbedaan dan kekhususan. Perbedaan dan kekhususan yang terdapat pada setiap generasi manusia, pada dasarnya dilatar belakangi oleh perbedaan waktu dan perbedaan tempat. Sementara itu, ajaran Islam (al-Qur`an maupun hadis) yang dinilai sebagai ajaran yang shalih li kulli zaman wa makan jika dihubungkan dengan persamaan dan perbedaan yang terjadi dari generasi ke generasi dalam dinamika manusia mengharuskannya terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu universal (tidak terikat) dan temporal/lokal (terikat). Keadaan yang seperti ini menjadikan matan (mean/idea) yang terkandung dalam sebuah hadis perlu disesuaikan dengan faktor-faktor tersebut, sehingga pemaknaan matan hadis dapat dipahami sesuai dengan perubahan kondisi yang terus berkembang. Di samping itu, hadis yang dipahami sebagai setiap ucapan dan tindakan yang bersumber dari Rasulullah SAW jika dikaitkan dengan posisi Nabi, maka akan menimbulkan kompleksitas pemahaman. Hal ini karena ragam posisi yang diduduki oleh Nabi. Semua posisi dan peran Nabi tersebut, sudah barang tentu menuntut hadis dipahami dan dikaitkan dengan peran yang dimainkan oleh beliau pada saat hadis tersebut disabdakan.
Lain dari pada itu, yang juga sangat perlu diperhatikan sebagai salah satu metode untuk memahami hadis menurut Syuhudi Ismail adalah memperhatikan bentuk komunikasi Nabi dengan para sahabatnya, sebab sabda Nabi tidak selamanya berjalan satu arah (tanpa didahulu dengan pertanyaan atau peristiwa tertentu/non asbab al-wurud) tetapi ada sebagian sabda Nabi merupakan hasil komunikasi dua arah (yang didahului dengan pertanyaan atau peristiwa/asbab al-wurud). Komunikasi dua arah tersebut adakalanya bersifat khusus dan berlaku hanya bagi lawan bicara Nabi pada saat itu, dan ada yang bersifat umum yang berlaku bagi keseluruhan ummat Islam dari generasi ke generasi. [21]
Dari beberapa faktor penting yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami matan hadis tersebut di atas. Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman matan hadis harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu pribadi Nabi dan suasana yang melatar belakanginya. Hal ini karena dengan mempertimbangkan kedua aspek tersebut, maka dapat dipahami, mana di antara hadis-hadis Nabi yang bersifat tekstual (tersurat), sehingga menuntut untuk dipahami sesuai dengan yang tertulis, dan mana hadis yang bersifat kontekstual yang dalam istilah muhaddis disebut dengan mafhum al-nas/ma’qul al-nas yang harus mempertimbangkan petunjuk-petunjuk yang kuat sehingga mengharuskan pemahaman yang kontekstual.
Berikut adalah beberapa langkah penelitian matan hadis yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. [22]
1.      Langkah Penelitian Hadis menurut Syuhudi Ismail
a.       Meneliti Hadis Melalui Bentuk Matan (mean/Idea)
Hadis Menurut Syuhudi Ismail, secara garis besar bentuk matan hadis dapat dikategorikan kepada jawami’ al-kalim (ungkapan singkat dan padat makna), tamsil (perumpamaan), analogi (qiyasi), bahasa simbolik (ramzi) dan dialog.  Dari macam-macam bentuk matan hadis tersebut, masing-masing berkisar kepada masalah apakah teks hadis dapat dipahami secara kontekstual, bersifat universal atau temporal, temporal kondisional ataukah tidak. Berikut adalah beberapa contoh tentang hadis-hadis nabi SAW dilihat dari bentuknya dan penilaian Syuhudi Ismail terkait dengan aspek ma’ani-nya apakah dipahami secara tekstual, kontekstual dan seterusnya.
1)      Jawami’ al-Kalim
Contoh Hadis yang dipahami secara tekstual dan bersifat Universal adalah hadis “perang itu siasat”. Matan hadis ini tidak bisa dipaksakan untuk dipahami secara kontekstual, karena dalam pandangan Syuhudi Ismail, dengan mempertimbangkan makna yang dikandung hadis tersebut, maka sudah dapat dipahami dan berlaku universal. Karena pada faktanya. Peperangan adalah “adu” strategi, dan hal ini tidak berubah dari masa ke masa.[23]
Contoh lain dari hadis dalam bentuk jawami’ al-kalim adalah hadis tentang keharaman khamr. Hadis ini dapat dipahami secara tekstual, bersifat universal namun temporal. Maksud dari bersifat temporal disini adalah, kepada orang-orang tertentu meminum khamr diperbolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah. Misalnya bagi orang yang baru saja masuk Islam, yang sebelumnya mempunyai kebiasaan meminum khamr, maka proses pelarangan minum khamr baginya melalui tahapan dan tidak sekaligus atau ketika ada kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan seseorang meminum khamr. Menurut Syuhudi Ismail, bentuk hadis jawami’ al-kalim pada umumnya dapat dipahami secara tekstual dan menunjukkan ajaran Islam yang universal. Meskipun ada juga yang dapat dipahami secara kontekstual.[24]

2)      Tamsil
Hadis yang berbentuk tamsil (perumpamaan) umumnya mengandung ajaran agama Islam yang bersifat universal. Contohnya adalah hadis perumpamaan tentang persaudaraan antar muslim. Dalam sebuah hadis, diumpamakan dengan konstruk bangunan, dan di dalam hadis yang lain diumpamakan dengan susunan tubuh. Kedua hadis tersebut bersifat universal.[25]
Meskipun demikian, bukan berarti hadis dengan bentuk tamsil selalu dipahami secara tekstual, karena kenyataannya ada beberapa yang harus dipahami secara kontekstual. Contohnya adalah hadis yang artinya, “Dunia adalah penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir.” Jika dipahami secara tekstual, maka dapat dipahami bahwa orang mukmin selamanya “harus” menderita di dunia. Namun jika dipahami secara kontekstual, maka dapat dipahami bahwa arti “penjara” pada hadis tersebut adalah adanya perintah agama yang bersifat kewajiban, anjuran, dan ada larangan-larangan. Sehingga terkesan membatasi ruang gerak orang mukmin di dunia.[26] Di samping itu, ada pula hadis yang dapat dipahami secara tekstual maupun kontekstualsecara bersamaan. Contohnya adalah hadis tentang balasan bagi orang yang berhaji sesuai dengan tuntunan syari’at. Secara tekstual dapat dipahami bahwa sebagaimana perumpamaan di dalam hadis yang artinya: “ia kembali seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya”.[27] Sedangkan secara kontekstual dapat dipahami bahwa dosanya diampuni oleh Allah sebagaimana bayi yang baru dilahirkan.
3)      Analogi
Matan hadis dengan bentuk analogi, dapat dilihat dari hadis yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual adalah sedekah, sahabat kemudian bertanya bagaimana hal itu dinilai sedekah? Rasulullah SAW artinya, “Bagaimana pendapatmu jika hal itu dilakukan di jalan yang haram”.[28] Jawaban Nabi ini bersifat analogik. Hadis ini dapat dipahami secara tekstual, dan karena yang terkandung di dalam matan tersebut adalah ajaran Islam yang universal, maka ketentuan yang dikandung berlaku di setiap waktu dan tempat.
4)      Bahasa Simbolik
Terdapat perbedaan ulama terkait dengan ada dan tidaknya bahasa simbolik dalam matan sebuah hadis. Bagi ulama yang menganggap tidak ada, maka hadis dengan bahasa simbolik jika bertentangan dengan akal atau ketentuan yang baku di dalam ajaran Islam, maka serta merta matan hadis tersebut dianggap dlaif. Berbeda dengan ulama yang menyatakan bahwa di dalam hadis terdapat bahasa simbolik, yang mengharuskan pembacaan matan tersebut sesuai dengan konteksnya (kontekstual). Contoh hadis dengan menggunakan bahasa simbolik antara lain hadis yang artinya, “Tuhan setiap malam turun ke langit pada saat malam sepertiga akhir. [29]  Hadis ini jika dipahami secara tekstual, maka seakan ada mumatslah antara Tuhan dan makhluq sehingga dinilai dlaif, dan pemahaman ini bisa dihindari jika kita memaknakannya secara kontekstual. Makna kontekstual hadis ini adalah turunnya limpahan rahmat Nya.[30]
5)      Dialog
Banyak matan hadis yang diawali dengan pertanyaan yang sama, namun memberikan jawaban yang berbeda. Contohnya adalah pertanyaan tentang amal perbuatan yang paling baik. Nabi menjawab dengan berbagai jawaban, antara lain; kalian yang memberi makan, Shalat pada waktunya, Iman kepada Allah dan lainnya. Perbedaan jawaban tersebut dimungkinkan karena dua hal yaitu, relevansi antara jawaban dan orang yang bertanya dan relevansi antara keadaan kelompok masyarakat dan jawaban yang diberikan Rasulullah SAW. Dengan demikian maka matan hadis tersebut bersifat temporal, kondisional bukan universal. Meskipun ada juga beberapa hadis yang bermakna universal, antara lain hadis tentang dialog antara Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi tentang inti ajaran “kata kunci” tentang Islam. Rasulullah kemudian menjawab “Katakanlah saya beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah”, hadis ini bersifat tekstual dan universal.[31]
Menurut Syuhudi Ismail berbagai disiplin ilmu itu berperanan penting tidak hanya dalam hubungannya dengan upaya memahami petunjuk ajaran Islam menurut teksnya dan konteksnya saja, tetapi juga dalam hubungannya dengan metode pendekatan yang harus digunakan dalam rangka dakwah dan tahap-tahap penerapan ajaran Islam. Karena pengetahuan senantiasa berkembang dan heterogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka kegiatan dakwah dan penerapan ajaran Islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keadaan masyarakat. Jadi, di satu sisi perlu selalu dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan di sisi yang lain para mujtahid memikul tanggung jawab untuk memahami dan memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin pengetahuan (termasuk ilmu-ilmu sosial). Dengan demikian, akan makin jelas keberadaan ajaran islam yang universal, temporal, dan lokal.[32]




BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
M. Syuhudi Ismail adalah seorang tokoh hadits kontemporer yang berasal dari Indonesia. Beliau adalah seorang yang mempunyai karakter yang baik, tekun, berpendirian teguh, tabah, sabar, istiqamah, disiplin, gigih dan semangat dalam menuntut ilmu, cerdas, berani, kritis, dan bertanggungjawab. Kegigihan dan semangatnya mampu membawanya pada segudang prestasi baik di bidang keimuan, politik dan perstasi lainnya di masyarkat. Selain itu, semangatnya dalam belajar juga membuatnya mampu menyelesaikan proses belajarnya dengan tepat waktu.
Syuhudi Ismail juga banyak memberikan konstribusi dan pemikiran dalam dunia keilmuan, khususnya dunia hadits. Salah satu Karyanya dalam bentuk buku menjadi referensi utama pada mata kuliah Ilmu hadits di Perguruan Tinggi Islam Indonesia dan menjadi karya terpenting. Dikatakan terpenting karena karya-karya tersebut berpengaruh dalam perkembangan kajian hadis di Indonesia, yaitu mengubah peta kajian hadis, khususnya kajian hadis di PTAI Indonesia, dari kajian yang terfokus pada kritik sanad saja menjadi kajian kritik sanad dan matan. Inilah bukti aspek prolifik dan ensiklopedik bagi tokoh ilmuan Indonesia yang berasal dari Lumajang ini.
Salah satu pemikiran hadits M. Syuhudi Ismail yang terkenal adalah bahwa dalam memahami sebuah matan hadits tidak cukup hanya melihat dari sudut tekstual matan hadits tersebut saja, akan tetapi juga harus melihat dan mempelajari sudut kontekstual dari hadits tersebut, seperti keadaan Nabi dan suasana yang melatarbelakanginya. Adapun salah satu bentuk ijtihadi M. Syuhudi Ismail dalam mengkaji fikih hadis tentang persoalan kontemporer adalah seperti pada soal bedah plastik, sewa rahim, kepemimpinan perempuan dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA

Arifuddin Ahmad, Andi Muhammad Ali Amiruddin, Abdul Gaffar, Kecenderungan Kajian Hadis     di UIN Alauddin Makassar (Tracer Study terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013), Journal of Qur’an and Hadis Studies – Vol. 4, No. 2, 2015.
Fithriady Ilyas, Ishak bin Hj. Sulaiman, Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1955) Tokoh Hadis Prolifik, Ensklopedik, dan Ijtihad, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017.
Hamdan Noor, Konstribusi Muhammad Syuhudi Ismail dan Ali Mustafa Ya’qub dalam kajian Hadits di Indonesia, Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2014.
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail, RELIGIA ISSN 1411-1632 (Paper) E-ISSN 2527-5992 (Online) Vol. 20, No.1, 2017.
Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadis M. Syuhudi Ismail, Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2017.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: PT. Bulan Bintang (1994), Cet. Ke-1.
Nurzaeni, Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Karya M. Syuhudi Ismail, Jakarta: Skripsi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2011.
Sahiron Syamsuddin, Kaidah Kemutasilan Sanad Hadis (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail), Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 1, Januari 2014.
www.islamweb.net. Mausu’ah al-Hadis





[1] Sahiron Syamsudin, Kaidah Kemutasilan Sanad hadis Studi Kriitis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 1, Januari 2014)
[2] Hamdan Noor, Konstribusi M. Syuhudi Ismail dan Ali Musthofa Ya’qub dalam Kajian Hadits di Indonesia (Tesis UIN Sumatera Utara, 2014)
[3] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal.2-3
[4] Arifuddin Ahmad, Andi Muhammad Ali Amirudin, dan Abdul Gafar, Kecenderungan Kajian Hadis di UIN Alauddin Makassar, Tracer Study terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013 (Journal of Qur’an and Hadits Studies – Vol. 4, No. 2, (2015)

[5] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 6
[6] Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
[7] Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal. 16
[8] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 9
[9] Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal. 6
[10] Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
[11] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 7
[13] ibid
[14] Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal.
[15] ibid
[16] Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)

[17] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 13
[18] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal.3
[19] Sahiron Syamsudin, Kaidah Kemutasilan Sanad hadis Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[20] Fithriady Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 21
[21] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) Hal. 3-5
[22] Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan Vol. 20, No.1, 2017) hal.36
[23] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) hal.11
[24] ibid
[25] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) hal.13-14
[26] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) hal. 16-17
[27] www.islamweb.net. Mausu’ah alHadis
[28] Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan Vol. 20, No.1, 2017) hal.37
[29] www.islamweb.net. Mausu’ah al-Hadis
[30] Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan Vol. 20, No.1, 2017) hal.38
[31] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) hal.25-26
[32] Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan Vol. 20, No.1, 2017) hal.47

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah pendidikan agama islam tentang jujur

Kapita Selekta Pendidikan Islam ( Problematika Pendidikan Islam)