PLURALISME PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
PLURALISME PERSPEKTIF KH.
ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah
“Pokok-Pokok Ushuludin”
Oleh:
MULYANITA
Dosen
Pengampu:
Prof. Dr. M. Ali, Ph.D
Program Studi Tafsir Hadits
Magister fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Penulis memuji-Nya, memohon
pertolongan kepada-Nya, dan ampunan kepada-Nya, dan penulis memohon perlindungan
kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri penulis, dan kejelekan
perbuatan-perbuatan penulis. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad SAW yang mulia, dan juga kepada para sahabat dan
pengikutnya yang melaksanakan sunnahnya sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini merupakan hasil karya penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Pokok-Pokok Ushuludin. Tidak banyak yang penulis berikan dalam
penulisan makalah ini, selain hanya mengumpulkan dan menyusun kembali dari
berbagai literatur penelitian yang sudah ada.
Jika boleh sedikit
bercerita meng pengambilan judul pada makalah ini, adalah karena saya, sebagai
penulis makalah ini sangat terinspirasi dan ingin mengenal lebih dalam sosok
KH. Abdurrahman Wahid atau yang baisa akrab dengan sebutan Gus Dur. Pada acara
haul beliau yang ke-sewindu, Allah melangkahkan kaki saya untuk hadir pada
acara tersebut, meskipun sebenarnya saya sendiri kurang tertarik untuk hadir
karena ada beberapa hal lain yang menurut saya harus saya prioritaskan. Namun,
dengan kuasa Allah tiba-tiba lewat ajakan bahkan bisa disebut paksaan
teman-teman dan dosen saya, Dr. Nur Rofiah, akhirnya saya hadir pada acara Haul
Gus Dur tersebut. Setelah sampai di sana, saya benar-benar terkejut bahkan
dibuat oleh Allah takjub pada pemandangan yang menurut saya luarbiasa. Ribuan
bahkan mungkin puluhan ribu orang memadati tempat itu.
Namun yang tidak kalah
menarik adalah bahwa yang hadir pada acara tersebut bukan hanya orang-orang
yang beragama islam, melainkan juga banyak yang di luar islam. Tua-muda,
lelaki-wanita, pejabat-orang biasa, kalangan intelektual-non intelektual
NU-nonNu dan berbagai lapisan masyarakat ikut membanjiri acara tersebut. Karangan
bunga berjejer rapi di sepanjang jalan yang datang dari berbagai etnis. Di
situlah awal muncul pertanyaan besar dalam diri saya kenapa banyak sekali yang
orang yang tertarik untuk hadir dalam acara tersebut. Kenapa masih banyak orang
yang mencintai Gus Dur meskipun telah lama tiada.
Ternyata setelah lama
mengikuti dan menyimak dari beberapa sambutan yang dibawakan tokoh masyarakat,
pejabat, dan para tokoh ulama dari berbagai agama pada saat itu, sedikit-demi
sedikit saya mulai memahami bahwa kenapa Gus Dur bisa dicintai oleh siapapun
bahkan dengan cinta yang amat besar sekali, karena Gus Dur mampu mencintai
siapapun dengan cinta yang besar pula sebelumnya. Gus Dur semasa hidupnya
mamupu mencintai semua lapisan masyrakat tanpa melihat perbedaan agama, budaya,
etnis dan tahta. Di mata saya, Gus Dur adalah salah satu orang yang Allah
angkatkan derajatnya lebih tingi dari orang lain, seperti yang Allah jelaskan
dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 12, karena beliau bukan hanya seorang
yang beriman tapi dia adalah sosok yang berilmu, dan keilmuannya sudah sampai
pada tahap pengamalan dari apa yang ia dapat. Gus Dur menginginkan mewujudkan
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan pada penulisan
makalah ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala keterbatasan dan
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca,
serta Bapak Dosen untuk kemajuan penulis selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah
Mulyanita
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………..………………… 2
DAFTAR
ISI
…………………………………………………………………………….. 4
BAB
I PENDAHULUAN.…………………………………..……………………. 5
A.
Latar Belakang
Masalah………………………..……………………… 5
B.
Identifikasi
Masalah……………………………...…………………….. 6
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...…7
A.
Biografi dan Riwayat Hidup KH.
Abdurrahman Wahid (Gus D……….7
B.
Konsep Pluralisme……………………………………………...………11
C.
Pluralisme KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)……...……………….14
D.
Gus Dur dalam
Kacamata Muslim dan Non Muslim…………..………21
BAB
III PENUTUP……………………………………………………...………….26
A.
Kesimpulan……………………………………………….…………….26
Daftar
Pustaka ……………………………………………………………..……………..27
\
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu bangsa
paling plural di dunia. Dengan 17 ribu pulau yang ada di wilayahnya, baik besar
maupun kecil, baik dihuni maupun tidak. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, dan negara dengan latar belakang paling beragam. Dengan
sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia
juga adalah sebuah negara dengan kebudayaan sangat beragam, termasuk agama.
Keanekaragaman (pluralitas) agama yang hidup di Indonesia, termasuk di dalamnya
keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama
adalah merupakan kenyataan historis yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun.
Sementara itu, proses munculnya pluralitas agama di Indonesia dapat diamati
secara empiris historis. [1]
Dalam kondisi yang plural ini, maka
ketika Islam mau berperan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia, yang tepat
adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dengan tema-tema
sentral, seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan hanya menonjolkan simbol. Pandangan
semacam inilah yang sering dikemukakan Gus Dur. Oleh karena itu, dalam banyak
hal, yang diperjuangkan Gus Dur adalah bagaimana memunculkan Islam dalam bentuk
esensi ajaran-ajarannya bukan dari bentuknya. Gus Dur, misalnya, lebih
memprioritaskan permasalahan sosial dan ekonomi ketimbang masalah kekuatan
politik dari suatu organisasi umat. Nilai-nilai etik dan kerja semestinya lebih
diutamakan ketimbang mempermasalahkan apakah seorang Muslimah harus mengenakan
jilbab atau tidak.[2]
Hal demikian tampak ketika Gus Dur
melihat peran yang substantif dalam Islam. Jadi, menurut Gus Dur ada dua
kategori manusia: pertama, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsu
sehingga bisa memberi manfaat kepada siapa pun. Mereka adalah pribadi-pribadi
yang tenang dan damai (an-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi
kehidupan spiritual, khalifah Allah yang sebenarnya. Kedua, mereka yang masih
dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi
siapa pun. Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan
sosial dan pembuat masalah (al-nafs al-lawwamah) dan menjadi representasi
kehadiran hawa nafsu.
Berdasarkan latar belakng masalah di
atas, maka penulis ingin menguraikan lebih dalam tentang seperti apa pluralisme
menurut kaca mata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang ulama besar dan
tokoh NU yang juga merupakan mantan presiden Republik Indonesia. Dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
latar belakang kehidupan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?
2.
Bagaimana
konsep pluralisme secara umum?
3.
Bagaiman
konsep pluralisme KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?
4.
Bagaiman
pandangan masyarakat muslim dan non muslim terhadap KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi dan Sejarah Hidup KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dilahirkan
pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang dengan nama kecil Abdurrahman
Addakhil. Beliau adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H. Abdul
Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim Asy’ari pendiri pondok pesantren Tebuireng
dan pendiri Jam„îyah Nahdlatul Ulama. Sedangkan ibunya Nyai Hj. Sholihah juga
putri tokoh besar NU K.H. Bisri Syamsuri pendiri pondok pesantern Denanyar
Jombang dan Rais ‘Am Syuriah PBNU. Secara genetik, baik dari garis ayah
maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dari
masyarakat Indonesia. Kedua kakeknya baik K.H. Hasyim Asy’ari maupun K.H. Bisri
Syamsuri dikenal sebagai tokoh ulama terkemuka di NU dan tokoh besar di
Republik ini.[3]
Gus Dur pernah berkata bahawa dia
adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara
kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan
Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa,6puteri Tiongkok yang menjadi
isteri simpanan Raden Brawijaya V Tan Kim Han. Mengikut penelitian seorang
peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul
Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur. Pada
tahun 1944, ayah Gus Dur; K.H Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, ayahnya
terpilih menjadi Ketua Pertama Parti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
suatu organisasi yang berdiri dengan dukungan askar Jepun yang menajajah
Indonesia waktu itu. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, Gus Dur
kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia
melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, K.H Wahid pindah ke Jakarta dan
ayahnya dilantik sebagai Menteri Agama.[4]
Adapun jenjang pendidikan yang
dilewati oleh Gus Dur yakni Pada tahun 1953 sampai 1957 belajar di Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur tinggal di rumah Kyai Haji Junaid,
seorang Kyai Muhammadiyah dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Beberapa
tahun kemudian, ia mondok di Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemuka
di Magelang, Jawa Tengah di bawah bimbingan khusus KH. Chudhori, dan Kyai ini
pulalah yang memperkenalkan kepada Gus Dur amalan-amalan ritual dan mistik
secara mendalam dalam Islam Jawa yang sampai ahir hayatnya tetap diamalkan.
Kyai ini adalah antara lain sosok yang dikagumi Gus Dur karena sosok yang
humanis. Di bawah bimbingan Kyai ini, Gus Dur kerap kali melakukan ziarah kubur
ke beberapa wali di Jawa pada hari-hari tertentu, berdoa dan membaca al-Qur’an
di Candimulyo. Ini semua merupakan pengalaman religius yang memperdalam dimensi
spritualitas Gus Dur. Kemudian pada tahun 1957, ia sempat nyantri di Pesantren
Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah KH. Ali Maksum. Tahun 1959 sampai
1963, Gus Dur belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, asuhan kakek dari
ibunya, KH. Bisri Syamsuri. Ketika itu, ia pun diminta mengajar
santrisantriwati yang lebih muda termasuk Sinta Nuriyah yang kemudian
diperistrikannya.[5]
Pada tahun 1964 bertepatan 23 tahun
umurnya, Gus Dur meninggalkan tanah air menuju Kairo, Mesir, untuk belajar
ilmu-ilmu agama di Ma'had al-Dirasat al-Islamiyyah yang berada di lingkungan
al-Azhar Islamic University. Keberadaannya di lembaga pendidikan tertua di
Timur Tengah ini menjadikan Gus Dur sangat kecewa dengan atmosfir intelektual
di al-Azhar yang memadamkan potensi pribadi karena teknik pendidikannya yang
masih bertumpu pada kekuatan menghafal, bahkan kekesalannya menjadi-jadi karena
apa yang dipelajari di sana telah dihafal ketika ia berada di Pesantren
Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Krapyak Yogyakarta. Merasa tak pas dengan
situasi dan teknik pengajaran dan pembelajaran di al-Azhar University ini,
sebagai gantinya, ia menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan yang lengkap
di Kairo, termasuk American University Library, Dar al-Kutub dan Perpustakaan
Universitas Kairo. Meski kecewa, ia tetap menikmati kehidupan kosmopolitan
Kairo, bahkan beruntung karena terbukanya peluang-peluang untuk bergabung
dengan kelompok-kelompok diskusi dan kegiatan tukar pikiran yang umumnya
diikuti para intelektual Mesir. Yang perlu dicatat bahwa selama di Kairo, Gus
Dur begitu tertarik pada film-film Perancis dan sepak bola, bahkan terkadang
menonton film sampai dua atau tiga kali sehari. Di Kairo, Gus Dur aktif di
mana-mana, termasuk di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) untuk Timur Tengah
sebagai Sekretaris Umum masa bakti 1964 hingga 1970. Akan tetapi hal ini tidak
menjadikannya betah yang pada akhirnya terbang ke Baghdad tepatnya di
Universitas Bagdad. Di Perguruan Tinggi ini Gus Dur melewatinya dengan penuh
rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial Eropa,
selain itu, terpenuhi pula hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan,
sistem yang diterapkan di Universitas Baghdad ini, yang dalam beberapa segi
dapat dikatakan lebih berorientasi Eropa daripada sistem yang diterapkan di
Mesir.[6]
Di Mesir, Gus Dur bekerja sambilan
di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat Gus Dur bekerja, peristiwa Gerakan 30
September (G30S)14 terjadi. Mejar Jeneral Soeharto menangani situasi di Jakarta
dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bahagian dari usaha
tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan
penyiasatan terhadap para pelajar universiti dan memberikan laporan kedudukan
politik mereka. Perintah ini diberikan kepada Gus Dur untuk menulis laporan. Pada
tahun 1966, dia diberitahu bahawa dia harus mengulang belajar, kerana
kegagalannya dalam peperiksaan.[7]
Pada tahun 1971, Gus Dur mampir ke
Eropa dengan harapan memperoleh penempatan di sebuah Universitas, tapi sayang
sekali ternyata kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak
diakui di universitas-universitas Eropa. Inilah yang memotivasi Gus Dur pergi
ke Mc Gill University, Kanada, untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara
mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah
terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren, termasuk
berita hangat tentang politik tanah air. Perjalanan Gus Dur di luar negeri
berakhir pada Juni 1971. Pertama kalinya datang di Indonesia, ia bergabung di
Fakultas Ushuluddin, UNHAS (Universitas Hasyim Asy'ari), Jombang sebuah
Perguruan Tinggi Islam yang didirikan pada tahun 1969 oleh tokoh-tokoh NU. Di
Perguruan Tinggi ini, Gus Dur mengajar Teologi dan beberapa mata kuliah agama
lainnya. Pada tahun 1974, dia menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng Jombang.
Masih tahun yang sama, terlihat pula keaktifannya sebagai penulis kolom dan
artikel berbagai harian dan majalah, di samping itu sibuk pula sebagai
pemakalah pada berbagai seminar dan diskusi, baik seminar yang sifatnya
regional, nasional maupun internasional. Gus Dur pun kemudian terlibat dan
terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training,
termasuk juga untuk pendeta Kristen. Di LP3ES, Gus Dur bersama Dawam Raharjo,
Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan masyarakat pesantren.
Pada perkembangan selanjutnya, Gus Dur bersama para Kyai yang dimotori oleh
LP3ES mendirikan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), suatu
LSM yang sekarang intens melakukan enlightenment (memberi penerangan dan
penjelasan terhadap berbagai fenomena keagamaan dan kemasyarakatan) terhadap
para Kyai dan santri.[8]
Abdurrahman Wahid adalah intelektual
Indonesia yang sangat menonjol dan disegani. Pergaulan dan pengalaman yang
sangat luas serta bacaan yang banyak membuat Gus Dur mempunyai wawasan
intelektual yang mumpuni. Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis,
tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang
terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekuler.
Semua hal tersebut tampak masuk dalam pribadi dan membentuk sinergi pemi
kirannya. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemi kiran yang
dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya
sendiri. Meskipun banyak kalangan menilai bahwa ia memiliki kepribadian yang
nyleneh, temperamental, inkonsistensi, dan kontroversial, namun semua
sependapat bahwa ia humoris dan pandai ber kelakar. Sikap dan pernyataannya
sulit ditebak, kadang di kenal sebagai ulama, intelektual, tapi juga dikenal
politisi dan pelaku politik. Menurut Nurcholis Madjid, sejak muda Gus Dur adalah
wong nekad, selalu keluar dari batas dan tidak pernah puas dengan kenya manan
pada suatu jalan. Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Gus Dur
adalah bahwa ia seorang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kaum
minoritas yang tertindas, dan pencinta keutuhan NKRI.[9]
Di saat angin reformasi berhembus
yang melengserkan secara paksa Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32
tahun, Gus Dur tampil menjadi tokoh reformis bersama empat tokoh bangsa lainnya
yaitu Megawati Soekarnoputeri, Muh. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X
yang mengibarkan panji-panji reformasi yang dideklarasikan dengan nama
Deklarasi Ciganjur. Kemudian pemerintahan BJ. Habibi membuka dan merealisasikan
kesepakatan yang kemudian memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat untuk
mendirikan partai baru. Semangat ini mengilhami pula Gus Dur dan beberapa ulama
NU lainnya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada Muktamar pertama di
Surabaya akhir Juli 2000, Gus Dur tepilih secara aklamasi sebagai Ketua Dewan
Syuro Partai Kebangkitan Bangsa periode 2000-2005 Pada Sidang Umum MPR 1999,
Gus Dur secara demokratis terpilih sebagai Presiden RI keempat. Sejak awal
1970-an hingga akhir 1990-an Gus Dur menghasilkan sekitar 494 buah tulisan.[10]
B.
Konsep Pluralisme
Pluralisme berasal dari akar kata
Latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu. Dalam
pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu
kepada adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu). Dengan demikian,
secara mendasar pemutlakan tidaklah tepat, baik dalam pemikiran maupun dalam
sikap, sehingga senantiasa harus disadari bahwa tidak mungkin kenyataan yang
mahakaya ini direduksi hanya menjadi satu-satunya kenyataan. Setiap individu
misalnya mempunyai keunikan, baik dalam cara berpikir, berpersepsi, maupun
bertindak, sehingga memutlakkan merupakan suatu pemerkosaan terhadap (hakhak)
individu yang bersangkutan.[11]
Sementara itu, An-Na’im dalam
menjelaskan arti pluralisme disandingkan dengan arti keragaman. Keragaman (diversity)
adalah perbedaan dalam persoalan agama, etnik, dan data demografis lainnya,
sedangkan pluralisme (pluralism) adalah sistem nilai, sikap, institsi,
dan proses yang bisa menterjemahkan realitas keragaman itu menjadi kohesi sosial
yang berkelanjutan, stabilitas politik, dan pembangunan ekonomi. Dengan kata
lain, keragaman adalah sesuatu yang empiris, sedangkan pluralisme adalah
ideologi atau orientasi dan sistem yang menerima keragaman itu sebagai nilai
yang positif dan terus berusaha memfasilitasi proses negosiasi dan penyesuaian
di antara mereka, tanpa berusaha memusnahkan salah satu atau sebagian dari
keragaman itu. Misalnya, adanya perbedaan dalam persoalan agama dan kepercayaan
adalah ciri utama setiap masyarakat, dan pluralisme adalah orientasi atau
sistem yang mengasumsikan adanya penerimaan yang tulus atas fakta empiris
tersebut dengan cara mengatur hubungan di antara komunitas agama yang berbeda,
dan bukan berusaha meleburnya menjadi satu atau memusnahkan salah satunya.[12]
Menurut Shibab (dalam Chamim
2002:238), konsep Pluralisme dalam teologi dan sikap keberagaman dapat
ditunjukkan oleh beberapa hal sebagai berikut:[13]
1.
Pluralisme
tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang kemajemukan, namun juga adanya
keterlibatan aktif dengan mengambil peran berinteraksi positif dalam kenyataan
kemajemukan itu. Dalam kehidupan beragam setiap pemeluk agama bukan hanya
mengakui adanya kemajemukan agama, tetapi terlibat dalam memahami dan
menciptakan kerukunan dalaam kebhinekaan.
2.
Pluralisme
harus dibedakan dari Kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada realitas
dimana aneka ragam, ras, dan bangsa, hidup berdampingan di suatu lokasi seperti
di kota-kota megapolis tetapi interaksi antar-penduduk sangat minimal. Dalam
pluralisme harus ada interaksi yang intensif.
3.
Pluralisme
tidak sama dengan Relativisme. Relativisme memandang setiap agama harus
dinyatakan sama benarnya, sedangkan pluralism mengakui kebenaran agama
masing-masing, hanya saja tidak merasa memonopoli dan memksakan kebanaran
agamanya kepada pihak lain.
4.
Pluralisme
agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatau agama baru dengan
memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Berdasarkan pandangan Shibab
tersebut dapat disimpulkan bahwa ideologi pluralisme memang diperlukan untuk
meminimalisasi atau mencegah konflik dan sekaligus menciptakan harmoni
antar-pemeluk agama-agama dalam kehidupan sosial dengan tetap berpegang pada
kesadaran bahwa setiap pemeluk agama dibiarkan memiliki komitmen yang kokoh
atas agama masing-masing tanpa harus mengarah pada relativisme dan sinkretisme. Sebagaimana dinyatakan Alwi Shibab (dalam
Chamim 2002:238), pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya
kemajemukan, namun yang terpenting adalah keterlibatan aktif menyikapi fakta
pluralitas itu. Dengan kata lain, pluralisme agama berarti setiap pemeluk agama
dituntut tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi turut serta
dalam usaha memahami perbedaan ajaran masing-masing dan persamaan kedudukan
pemeluknya dalam pergaulan kehidupan di masyarakat demi tercapainya kerukunan
dalam kebhinekaan.[14]
Sedikitnya ada tiga sikap masyarakat
dalam menghadapi perbedaan pandangan baik agama, budaya, maupun idiologi,[15] yaitu:
1.
Sikap
ekslusif: dalam pandangan ini setiap kelompok menyatakan pandanganya yang
paling benar, superior dan satusatunya jalan keselamatan hanya milik
kelompoknya, sedangkan di luarnya tidak ada keselamatan, tidak benar dan
inverior serta harus dimatikan. Dalam pola ini konflik dan kekerasan tidak
dapat dihindari karena setiap kelompok merasa superior dan yang paling benar. Hubungan
yang terjadi antara kelompokpun merupakan relasi-konflik dan klaim-kalim
kebenaran bersifat absolut adanya.
2.
Sikap
inklusif: dalam pola ini masing-masing kelompok berusaha menahan diri dan
menghindari konflik. Sikap menghormati, toleransi dan dialogpun sudah berjalan
meskipun besifat sederhana. Kelompok lain tidak dilihat sebagai ancaman dan
masing-masing kelompok diberi kebebasan untuk melakukan peribadatan. Dalam pola
ini belum ada saling menerima pendapat positif dari kelompok lain.
3.
Sikap
pluralis: paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan.
Perbedaan agama maupun budaya tidak mengalangi proses dialog dan kerjasama
antara mereka. Proses dialog dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling
menimba pengetahuan dan mencari persamaan-persamaan dalam rangka menyelesaikan
masalah bersama seperti, keadilan, HAM, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya
serta melakukan kerjasama. Dalam tujuan dialog bukan berusaha mencari benar
atau salah tetapi yang terpenting adalah mencari titik temu. Dan kebenaranpun
bersifat relatif, sikap pluralis merupakan pengembangan yang lebih liberal dari
sikap inklusif. Masing-masing kelompok berusaha saling mengoreksi dirinya dan
kesediaan untuk menerima pendapat kelompok lain secara rasional dan profesional
serta memandang kelompok lain sebagi patner.
C.
Pluralisme KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Bagi Gus Dur, ketika dia membaca,
menguasai, menerapkan al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab kuning tidak
dikhususkan bagi orang Islam. Demikian pula, dia bersedia memakai yang mana pun
asal benar dan cocok dengan hati nurani. Dia tidak mempedulikan apakah kutipan
dari Injil atau Bhagawal Gita, jikalau itu benar maka menerimanya. Dalam
masalah bangsa, ayat Al-Qur’an, menurut Gus Dur, semestinya dipakai secara
fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai
dalam persoalan mendasar, sedangkan aplikasinya adalah soal penafsiran.
Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah
menjadi masalah pemikiran.[16]
Dengan pandangan semacam ini,
rasanya menjadi penting bagi umat Islam Indonesia untuk lebih memasyarakatkan
penghayatan Islam yang kosmopolit. Sebagai negara-bangsa yang majemuk dari segi
etnis dan agama, mungkin Indonesia perlu belajar dan meniru Inggris. Jika kaum
muslim Inggris yang jumlahnya sangat minoritas masih dihargai dan dihormati hak
asasinya, umat Islam Indonesia pun seharusnya belajar untuk menghormati dan
menghargai hak asasi pemeluk agama lain yang (mungkin) minoritas di Indonesia.
Tidak boleh ada teror atau penghakiman terhadap pemeluk agama lain.[17]
Sikap sebagaimana disinggung adalah
sangat penting, karena bangsa Indonesia sudah mempunyai modus vevendi
(kesepakatan luhur) untuk hidup bersatu dalam kebhinekaan dengan ikatan
Pancasila. Modus vevendi itu menuntut masyarakat bangsa ini saling toleran dan
beradab terhadap pemeluk agama lain tanpa melihat besar kecil jumlah pemeluk,
karena persoalan keyakinan terhadap agama secara universal merupakan hak yang
paling asasi. Secara sederhana Islam kosmopolitan dimaksudkan bahwa Islam itu
harus bermanfaat bagi umat manusia, ramah, tidak ditakuti, dan menimbulkan
kadamaian bagi setiap orang. Yang diperjuangkan dalam Islam kosmopolitan adalah
nilai-nilai universal yang inklusif yang pasti diterima oleh setiap orang.
Perjuangannya tdak menghendaki formalisasi atau simbol-simbol ekslusif yang
memberi kesan mengecilkan kelompok lain, tetapi menekankan diri pada nilai
dasarnya yang universal, seperti menegakkan keadilan dan hukum dalam bentuk
perlawanan terhadap penguasa yang korup dan zalim, pembelaan terhadap kaum
lemah, dan sebagainya.[18]
Gus Dur sendiri dianggap merupakan
figur yang memiliki kelebihan yang sangat fleksibel dalam membangun hubungan
sosial dengan tokoh-tokoh non muslim. Gus Dur sangat bersahabat dengan banyak
kalangan pastor dan pendeta, termasuk dengan tokoh-tokoh non muslim lainnya
seperti dari kalangan Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu (Cina). Dalam pandangan Gus
Dur, Departemen Agama sebagai aparat negara adalah milik semua dan melayani
semua. Di mata Gus Dur, setiap dan semua umat beragama mempunyai kebebasan
untuk bereksistensi dan berekspresi sesuai dengan keyakinannya. Memang Gus Dur
mendambakan kehidupan agama yang ramah. Masingmasing umat beragama tentu
meyakini kebenaran agama yang mereka anut, sebab hanya dalam keyakinan yang
tulus itulah terletak keberagamaan yang hakiki, tetapi pada saat yang sama
mereka juga seyogianya menghormati orang lain untuk meyakini kebenaran agama
yang mereka anut dan melaksanakannya secara bebas. Suasana saling menghormati
itu juga tentu saja berlaku di antara semua pemeluk agama apa pun. Sebab, dalam
masing-masing umat satu agama terbuka perbedaan bahkan pertentangan keyakinan,
tetapi mereka tidak perlu menjegal orang lain. Gus Dur agaknya ingin melihat
bahwa dalam taman Indonesia aneka macam bunga biarlah tumbuh secara wajar tanpa
dihalang-halangi dan juga tidak dipaksapaksa.[19]
Sikap yang hanya mau menggunakan kata
“syaikh”, serban, dan jubah sebagai ilustrasi, misalnya, adalah fenomena
formalisasi Islam dan islamisasi perbuatan. Menurut Abdurrahman Wahid,
sebagaimana diungkapkan Mujamil Qomar, kecenderungan formalisasi Islam dalam
kehidupan masyarakat dan islamisasi perbuatan dalam bentuk manifestasi simbolik
ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan
substansi. Misalnya, dengan munculnya kelompok intelektual yang serba mau
memformalkan Islam, dikhawatirkan Islam menjadi kehilangan relevansi. Padahal,
islamisasi itu pada umumnya barulah pada arabisasi budaya, yaitu semakin
banyaknya dipakai terminologi Arab yang berasal dari nash. Sementara itu,
arabisasi tersebut mengandung bahaya.[20]
Dengan pandangan semacam ini, tidak
heran apabila Gus Dur dalam konteks sejarah Indonesia adalah salah satu orang
yang gencar dan keras mengkritik ICMI. Dia khawatir apabila kelompok ICMI
berhasil menjadikan ICMI sebagai kekuatan politik independen, maka akan menjadi
pukulan berat buat Islam dan fatal bagi demokrasi Indonesia. Oleh karena itu,
Gus Dur adalah orang yang kurang menghendaki penghadiran politik formal bagi
Islam, akan tetapi lebih menghendaki agar Islam dijadikan lebih sebagai
landasan nilai-nilai etik bagi kehidupan masyarakat modern. Dia senang menerima
kenyataan bahwa Indonesia merupakan masyarakat multi-etnik dan multi-agama, dan
mengakui hak-hak minoritas untuk mendapatkan perlindungan. Dia memandang,
misalnya, retorika anti-Kristen kaum modernis dan para da’i di desa-desa yang
sering menyalahkan kelompok Kristen merupakan kenyataan lemahnya kepemimpinan
dalam Islam.[21]
Masyarakat Indonesia yang plural,
dengan ragam budaya, suku, etnis dan agama serta idiologi merupakan kekayaan
tersendiri. Oleh karena itu, keragaman agama, etnis, idiologi ataupun budaya
membutuhkan sikap arif dan kedewasaan berpikir dari berbagai lapisan
masyarakat, tanpa memandang agama, warna kulit, status sosial dan etnis. Tanpa
ada sikap saling curiga dan berprasangka buruk terhadap kelompok lain, kita
sebagai bangsa sudah terlanjur majemuk dan konsekuensinya adalah adanya
penghormatan atas pluralitas masyarakat itu. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan
demi tegaknya pluralism masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup
berdampingan secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya
kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Namun harus ada penghargaan yang tinggi terhadap
pluralisme itu, yaitu adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara
tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain saling take and give.[22]
Latar belakang paham keislaman
tradisional paham ahlussunnah wal jama’ah- serta pemikirannya yang liberal,
Islam menurut Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan
pelindung keragaman dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam
lebih inklusif, toleran, egaliter dan demokratis. Nilai Islam yang universal
dan esensial lebih diutamakan dari pada legal-simbolis, Islam mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membawa embel-embel Islam akan tetapi
ruh keislaman menyatu dalam wajah nasionalisme, seperti pribumisasi Islam,
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, prinsip humanis dalam pluralitas
masyarakat, dan prinsip keadilan dan egaliter.[23]
Sebagai sebuah realitas, bahwa Gus
Dur sebagai tokoh pluralisme tentu tidak ada yang menolak. Semua tokoh nasional
maupun internasional sependapat dengan pernyataan ini. Ketokohan Gus Dur dalam
perbincangan dunia pluralisme dan multikulturalisme tentu saja tidak terlepas
dari peran Beliau di dalam dialog dan praksis relasi antar umat beragama,
relasi antar suku, dan etnis di dalam kehidupan masyarakat secara umum. Di dalam membangun kehidupan lintas agama,
maka peran Gus Dur juga sangat menonjol. Tentu masih segar dalam ingatan
tentang bagaimana usaha Gus Dur untuk menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi
di Indonesia sehingga memiliki status dan kedudukan sama dengan agama lain yang
diakui di negeri ini. Bahkan juga pembelaannya terhadap warga negara eks tapol,
terutama PKI yang hingga sekarang masih
dianggap warga negara kelas dua. [24]
Di dalam relasi beragama, Gus Dur seringkali
melepas baju agamanya atau formalism agamanya, tetapi tetap berada di dalam
dunia keberagamaannya yang substantif. Hal ini bukanlah sebuah penodaan
keyakinan atau bahkan melepas keyakinan keberagamaan yang sangat dijunjung
tinggi, tetapi sebuah kecintaannnya terhadap dunia kemanusiaan yang memang
harus dijaga juga secara maksimal. Yang saya maksud dengan melepas formalisme
atau baju agama tersebut adalah misalnya Gus Dur keluar masuk ke dalam gereja,
Vihara atau bahkan Sinagog dalam kerangka untuk menyambung relasi berbasis
kemanusiaan itu. Atau juga pembelaannya
terhadap kelompok agama minoritas yang sering terjadi. Beliau tanggalkan formalism
agama yang sering menjerat untuk hidup saling menyapa. Beliau tanggalkan
kesombongan beragama demi martabat kemanusiaan. Beliau hindari beragama yang sempit hanya
karena keyakinan yang membelenggu. Maka, hadirlah keyakinan itu di dalam hati
dan termanifestasi di dalam kecintaannya kepada semua manusia tanpa membedakan
latar belakang apapun. [25]
Gus Dur adalah salah seorang tokoh
dari beberapa tokoh seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib dan Johan Effendi
yang cukup koheren dan sempurna untuk disebut sebagai sebuah aliran pemikiran
yang berdiri sendiri. Greg Barton menyebut para pemikir ini sebagai
neo-modernis dan berpendapat bahwa aliran pemikiran ini telah menjadi instrumen
dalam penciptaan posisi intelektual atau politik baru dalam pemikiran Islam di
Indonesia. Ciri pemikirannya yang neo-modernis terlihat pada sikapnya yang
menerima dan menghormati pluralisme dan nilai-nilai demokratisasi termasuk
hubungan agama dan negara. Selain itu, nilai-nilai pluralistik telah dirujuk ke
dalam struktur iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri. Gagasan-gagasan
yang dibangun merupakan ide yang aktual yang keluar dari mainstream bahkan keluar
dari kerangka pemikiran NU yang merupakan background kehidupan agama dan
politiknya. Cita-cita demokratisasi, persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan
menjunjung tinggi nilai pluralistik merupakan ide-ide pemikiran Islam
Kontemporer yang dapat diapresiasi dan digali dari pemikiran Gus Dur. Untuk
itu, pengkajian akan pemikiran Gus Dur merupakan hal yang menarik untuk
dilakukan.[26]
Sumbangan terbesar Gus Dur terhadap
bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme.
Gebrakannya yang terkenal ketika menjadikan Konghucu agama resmi negara. Gus
Dur juga mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang
kegiatan warga Tionghoa, serta menetapkan Imlek hari libur nasional. Komitmen
Gus Dur memperjuangkan pluralisme melewati ujian yang tidak mudah. Tahun
1995-1997 terjadi kerusuhan di Jawa Timur dan Jawa Barat, daerah basis
Nahdlatul Ulama (NU), menyebabkan ratusan gereja dan beberapa toko orang
Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Tujuannya mendiskreditkan Gus Dur bahwa visi
Islam toleran yang diusungnya gagal. Meresponi kekerasan tersebut, 1997-1998,
Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU mencegah teror lebih lanjut dengan
mengorganisir patroli keamanan di Gereja-gereja dan toko-toko Tionghoa.
Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah dalam membela hak-hak minoritas
menunjukkan kepekaannya terhadap rasa keadilan. Keberpihakkan kepada yang lemah
dan miskin adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak
adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas.
Wacana mayoritas-minoritas yang bersifat hirarki dan oposisional bukan hanya
mengancam keadilan tapi juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya
bagi Gus Dur, sekalipun Islam agama mayoritas, Islam sebagai etika
kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia apalagi
menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila. Fungsi Islam, seperti juga
agama-agama lain, sebatas sistem nilai pelengkap bagi komunitas sosio- kultural
dan politis Indonesia.[27]
Bagi Gus Dur, musyawarah menuntut
kesadaran interdependensi dan sikap partisipasi itu berarti hidup bersama bukan
lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tapi harus secara teologis. Artinya,
penerimaan satu sama lain harus dengan sepenuh hati. Perbedaan diterima sebagai
sesuatu yang baik secara intrinsik. Toleransi bukan lagi sekedar menerima
keberagaman, tapi bagaimana supaya keberagaman membawa manfaat. Sepeninggal Gus
Dur, upaya melestarikan pluralisme merupakan penghargaan terbesar baginya, jauh
lebih besar dari penganugerahan pahlawan nasional yang sedang diusulkan banyak
pihak.[28]
Semasa hidup Gus Dur dikenal sebagai
orang terdepan membela pluralisme. Tidak ada demokrasi tanpa adanya pluralisme,
artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latar belakangnya
harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Ketika ada kaum minoritas yang
terpinggirkan oleh sistem yang tak adil Gus Dur maju membela, padahal yang
dibela bukan berlatar agama yang sama dengannya. Tidak heran kemudian beliau
“Gus Dur” sering dimusuhi oleh orang seagamanya sendiri. Tetapi beliau tidak
ambil pusing, maju terus membela yang benar.
Keseriusan itu terbukti pula pada saat menjadi presiden, beliau tanpa
ragu mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden
No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang
mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia. [29]
Setelah itu kita tahu, etnis China
sekarang bisa menjalankan budayanya dengan lega di negeri ini. Juga menjalankan
kepercayaan leluhurnya di bawah jaminan perlindungan negara. Tidak boleh ada
yang mengganggu. Imlek kemudian diperingati secara nasional dan dinyatakan
sebagai hari libur nasional. Tidak hanya pada kebudayaan, bahkan beliau juga
dekat dengan kelompok-kelompok transgender. Ketika orang lain menghujat, Gus
Dur justru membela mereka. Tidak heran kemudian artis seperti Dorce Malagama
merasa sangat kehilangan ketika Gus Dur wafat.
Dengan dasar-dasar ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam
kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang
seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tidak perlu dibela, yang harus
dibela adalah umatnya yang tidak mendapatkan keadilan. Tidak heran kemudian
beliau membela kaum transgender, minoritas China, dan kelompok terpinggirkan
lainnya. Beliau membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman.[30]
D.
Gus Dur dalam Kacamata Muslim dan Non Muslim
Jaya Suprana pendiri Museum Rekor
Indonesia mengaku banyak belajar segala hal dari Gus Dur. Namun, satu hal yang
paling dikagumi Jaya dari semua pelajaran itu adalah sikap toleransi dan menghargai
orang lain. "Agamamu agamamu, agamaku agamaku, kalau itu dijalankan, dunia
ini tak ada yang namanya perang. Dia Gus Dur tidak memaksakan kebenaran
tunggal. Kalau orang itu benar ya benar, kalau jahat ya jahat. Saya belajar itu
dari Gus Dur, aku pemilik nama Tionghoa Liauw Kok Tjiang itu. Pemikiran Kiai
Haji Abdurahman Wahid alias Gus Dur, khususnya tentang pluralisme, masih sangat
relevan sampai saat ini. Apalagi dalam kehidupan keagamaan saat ini, prasangka
terhadap sesama umat beragama dan antarumat beragama masih saja ada. Penegasan itu datang dari K.H. Quraish Shihab
ketika memberikan tausyiah pada malam Tahlil Akbar dan peringatan 1.000 hari
wafatnya Gus Dur di kompleks pesantren Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis,
27 Sepetember malam, acara ini dihadiri ribuan warga Nahdliyin dan kaum Gus Durian.
Menteri Agama era Presiden Soeharto itu
mengatakan “pluralisme Gus Dur yang sangat menghargai perbedaan, membela kaum
minoritas, dan kedekatannya dengan beragam tokoh agama lain, sering disalahartikan
oleh sebagian umat Islam. Padahal setelah Gus Dur tiada, banyak orang akhirnya
mengakui kebenaran dan kehebatan toleransi yang ditunjukkan Gus Dur.” Bahkan, masih menurut Quraish, “pluralisme
yang diperjuangkan Gus Dur lahir dari pemikiran jernih, kepedulian, dan juga
dasar kitab suci Alquran dan juga hadis. Perintah membantu umat lain seperti
membantu pembangunan gereja, juga ada dalam perintah Nabi Muhammad sebagai
bukti sikap Nabi dalam menghormati dan toleransi," kata Ketua Ikatan Alumi
Al-Azhar Mesir itu. Karena itu, lanjutnya, pemikiran tokoh yang pernah menjadi
Presiden itu harus terus disosialisasi dan dipraktikkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. [31]
Dalam artikelnya Abdul Malik Mughni
(Tan Malika) juga menceritakan beberapa tokoh yang mengaku belajar banyak dari
pemikiran Gus Dur. Artikel yang ditulis Abdul Malik Mughni ini juga berisi
pengalaman Jaya Suprana soal kedekatannya dengan Gus Dur. Artikel tersebut
berisi sebagai berikut:
Jaya Suprana, seorang penulis, humorolog
sekaligus antropolog yang beragama keristen bercerita tentang perdebatan
sejumlah pendeta pasca wafatnya Gus Dur.
Perdebatan sufisme meruncing ketika Gus Dur meninggal. Saya bertanya
pada pendeta, bisakah Gus Dur masuk surga? kata Jaya dalam bedah buku “Sang
Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur”, karya K.H Hussein Muhammad, di kantor
Wahid Isntitute. Pendeta, kata Jaya, dengan tegas menjawab bahwa Gus Dur pasti
masuk neraka, sebab Gus Dur tak mengakui ketuhanan Yesus. Jaya dan sejumlah
pendeta lain sebenarnya tahu prasyarat masuk surga dalam agama kristen adalah
pengakuan terhadap Yesus. Tetapi Jaya mengaku penasaran. Sebab selama hidupnya,
Gus Dur mengamalkan ajaran kasih sayang terhadap sesama. Pengorbanan Gus Dur
bagi sesama, menurut Jaya, sangatlah besar dan layak diganjar surga. Pendeta
tetap ngotot bahwa Gus Dur tak mungkin masuk surga. Maka saya jawab. Baiklah
kalau begitu, saya lebih baik masuk neraka menemani Gus Dur, ketimbang masuk
surga bersama kalian, tandas Jaya. Pengakuan unik itu spontan membuat para
hadirin tertawa, sekaligus terharu.[32]
Dalam kesempatan itu, Jaya juga
mengungkap permohonan penyesalannya atas kemunculan Film Innocence of Moslem,
yang menurutnya merupakan film tak berkualitas, dan menistakan kesucian Nabi
Muhammad. Sebagai sahabat Gus Dur, Jaya
mengaku sangat kehilangan sosok yang selama ini dianggap sebagai guru dan
teladan hidupnya. Tapi sebagai humorolog, Jaya berhasil meramu kesedihannya
dalam guyonan khas Gusdurian. “Saya kehilangan Gus Dur. Sebagai seorang guru,
saya sering bertanya pada Gus Dur, apa itu sufi. Maka ketika Gus Dur wafat, saya bertanya-tanya. Jangan-jangan Gus Dur wafat karena saya
terlalu sering bertanya tentang apa itu sufi. Gus Dur mungkin tak mau kelihatan
kesufiannya”, kata Jaya seraya mengungkap bahwa sufisme merupakan pemahaman
keagamaan yang melampaui agama itu sendiri.[33]
Beyond religion. Dalam bedah buku
yang berlangsung selama tiga jam itu, Kiai Hussein, sang penulis buku Sang
Zahid mengungkap sejumlah pengalamannya berdekatan dengan Gus Dur. Bagi
Hussein, sikap hidup Gus Dur layak diteladani dan sesuai dengan ajaran Nabi
Muhammad, yang menekankan ummatnya untuk bersikap sederhana, dan tak
menggantungkan diri pada duniawi. Gus Dur menghayati kesederhanaan dan
mementingkan pemberian bagi orang lain. Sebagai seorang yang zahid, Gus Dur tak
pernah menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk
mereka yang memerlukannya, kecil maupun besar. Gus Dur, “saya yakin, selalu tak
ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke rumahnya dengan wajah
duka dan tangan yang tak bawa apa-apa”, paparnya.[34]
Sementara, K.H Lukman Hakim,
Pemimpin Redaksi Majalah Sufi dalam paparanya mengulas keberanian Gus Dur, dan
berbagai wacana yang dilontarkannya merupakan anugerah Allah. “Kita Sebagai
pengagum beliau, mempelajari wacana beliau, sulit meneladani beliau seutuhnya.
Mengenai derajat wali adalah hak prerogatif Tuhan. Tapi dalam hal zuhud, Gus
Dur berhasil melepaskan diri dari cinta dunia”, ujarnya. Dalam diskusi itu juga
seorang kiai yang Menjabat Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) dan pembina Pertahanan Ideologi Syarikat Islam (Perisai) K.H
Muhammad E Irmansyah mengaku sempat salah memahami Gus Dur. “Saya Muhammad
Hermansyah, ketua syarekat Islam. Saya ingin membuat pengakuan dosa. Saya
pernah membenci Gus Dur. Saya kenal dengan keluarga Gus Dur, tapi terus terang
saya ada tabir dengan Gus Dur karena ajaran pluralisme beliau”, ungkapnya. Ia
mengaku pernah mendiskreditkan Gus Dur dalam sejumlah ceramahnya. Sebagai
pengamal syariah, ia pernah tak sepaham dengan konsep pluralisme Gus Dur. Tapi
setelah memahami lebih lanjut, bertahun kemudian, ia mengaku terkesan dengan
sikap dan ajaran Gus Dur. Saya merasa berdosa. Ternyata pluralisme yang diajarkan
Gus Dur tak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan itulah ajaran nabi yang
mengajarkan penstingnya kasih sayang bagi sesama. Ternyata yang tak sepaham
dengan Gus Dur, itu karena belum mencapai pada maqamnya saja”, katanya seraya
mengutip beberapa hadist, dan ayat al-Quran yang mendukung konsep pluralisme
Gus Dur. Ia mengaku semakin terkesan
kepada Gus Dur, ketika ia menemui Gus Dur saat menjabat sebagai Presiden. Sikap
sederhana Gus Dur masih melekat dalam ingatannya hingga sekarang. Karenanya kemudian
ia kini berguru tasawwuf kepada K.H Lukman Hakim, yang notabene merupakan murid
Gus Dur. “Saya pernah beberapa kali bertemu presiden, tapi belum pernah bertemu
presiden di kamar tidurnya. Saya merasa kecil sekali, ketika Gus Dur dengan
santai menerima saya di kamar tidurnya. Betapa beliau telah menghilangkan sekat
duniawi,” tandasnya.[35]
Banyak pihak yang setuju dengan
pemikiran Gus Dur terhadap pluralisme, namun ada juga yang tidak sependapat
dengan pemikiran Gus Dur tersebut. Contohnya seperti pendapat Ustadz Zaenal
Abidin Syamsudin dalam artikelnya yang berjudul “Gus Dur dan Cak Nur Bapak
Pluralisme Agama”, isi artikel tersebut : Gencarnya upaya Abdurrahman Wahid dan
Nurchalish Majid menebarkan virus pemikiran Pluralisme agama di Indonesia mulai
membuahkan hasilnya, dari gagasan penolakan terhadap syari‘at, pengingkaran
terhadap system Negara Islam, pernyataan bahwa Ahlul Kitab bukan hanya Yahudi
dan Nashrani saja bahkan semua agam termasuk Konghuchu masuk ke dalam Ahlu
Kitab hingga gagasan penyatuan agama sangat mewarnai wacana kedua tokoh
tersebut, maka tidak aneh kalau pemikiran kedua orang ini sering mendatangkan
badai kritik dan hujatan dari umat Islam.
Cukup banyak penyimpangan Gus Dur,
mulai dari pengingkaran terhadap firman Allah: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak tidak akan sengan kepada kamu sehinga kamu mengikuti agama
mereka.” (QS. AlBaqarah: 120), bahwa ayat ini tidak berlaku di Indonesia,
mendukung asa Tunggal Pancasila, menerima sumbangan SDSB, menentang gerakan
ekonomi ICM, menentang pelarangan buku Satanic Verses, mendirikan Shimon Perez
Institute, mendorong pemerintah untuk membuka hubungan dengan Israel, mendukung
presiden dari non muslim, menolak RUU Sisdiknas, menentang fatwa MUI, menolak
RUU APP, sering berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari kelompok kuffar, shalat
boleh dengan bahasa Indonesia, pembelaan terhadap goyang ngebor Inul, membela
mati-matian Ulil Absar hingga penghinaan terhadap al-Qur‘an yang ia katakana
kitab paling porno bahkan penolakan adanya system Negara Islam serta gagasan
pluralismenya membuat gerah umat islam, bahkan Emha Aiun Najib pernah menulis
bahwa Gus Dur memang pandai bergaya “Kerbau”, purapura bego kaya kerbau, tidak
perduli nasehat orang lain walaupun datangnya dari para ulama dan sesepuh NU sendiri
sampai K.H. Yusuf Hasim pun telah putus asa menasehatinya.[36]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gus Dur adalah seorang tokoh ulama
dan politik di Indonesia yang lahir dalam lingkungan keberagamaan yang kental.
Kecerdasan yang diirnigi kegigihannya dalam belajar mengantarkan ia pada
kesusksesannya baik dibidang agama, sosial dan politik.
Islam adalah agama yang rahmatan
lil ‘alamin. Pemahaman Gus Dur yang dalam akan hal itu membuatnya ingin
mewujudkan dan mengamalkan bahwa Islam bisa memberikan keselamatan dan
kedamiaan bagi siapapun dan apapun yang ada di dunia, khususnya Indonesia.
Tanpa membeda-bedakan tahta, agama, atau apapun. Pluralisme adalah suatu paham
yang dianut Gus Dur, mampu menjadi jembatan untuk mewujudkan Islam sebagai
agama yang rahmatan lil ‘akamiin. Gus Dur membela kaum minoritas, Dus
Dur dekat bahkan bersahabat dengan mereka yang berbeda keyakinan dengannya, Gus
Dur mencoba memberikan keadilan dan kenyamanan bagi siapupun yang pantas diberi
hak keadilan dan kenyamananan tersebut. Ia memberikan izin pendirian rumah
ibadah untuk umat Kristen, bahkan melegalkan Kong Hu Chu sebagai salah satu
agama di Indonesia, dan menjadikan hari Imlek sebagai hari libur nasional di
Indonesia.
Pemikiran Gus Dur yang sering berbeda
dari tokoh agama, ilmuan dan politik juga banyak menimbilkan kontroversi. Namun
Gus Dur tetap berjalan pada jalan yang diyakininya. Keyakinan dan semangatnya
dalam ber-prulisme juga banyak mendatngkan simpatik dan dukungan padanya. Dia
banyak dicintai oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal itu terbukti dengan
banyaknya orang yang membanjiri peringatan/ Haul kewafatan beliau setiap tahunnya.
Pemikirannya tentang pluralisme juga banyak melahirkan intelektual muslim dan
non muslim Indonesia yang sepaham dengannya. Mereka banyak menuliskan buku yang
menawarkan pluralisme sebagai jembatan pemersatu bangsa saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed An-Na’im, Islam dan
Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati,
(Bandung: Mizan, 2007)
Ainul Fitriah, Pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam (Teosofi: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013) hal. 4
Hamdani Khaerul
Fikri, Analisis Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid Perspektif Pendidikan
Islam (Jurnal IAIN Mataram, Volume VIII Nomor 1 Januari - Juni 2015)
Kamarudin Salleh, Khoiruddin Bin
Muhammad Yusuf, Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme (Ar Raniry:
International Journal of Islamic Studies Vol. 1, No.2, Desember 2014)
Luk Luk Nur Mufidah, Pemikiran
Gus Dur tentang Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal (Al-Tahrir, Vol.
15, No. 1 Mei 2015)
Miftahuddin, Berislam dalam
Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid (Jurnal
UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012)
Muh. Rusli, Pemikiran
Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni
2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264)
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh
Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian
Moral dan Kewarganegaraan Nomo1 Volume 2 Tahun 2013)
[1]
Miftahuddin, Berislam dalam Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid (Jurnal UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012) hal. 67
[2]
ibid
[3]
Ainul Fitriah, Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam (Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013) hal. 4
[4] Kamarudin
Salleh, Khoiruddin Bin Muhammad Yusuf, Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme (Ar
-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1, No.2, Desember 2014)
hal.261
[5] Muh.
Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan
Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264) hal. 52
[6] Muh.
Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12
Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264) hal. 54
[7] Kamarudin
Salleh, Khoiruddin Bin Muhammad Yusuf, Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme (Ar
-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1, No.2, Desember 2014)
hal.263
[8] Muh.
Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12 Nomor
1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264) hal. 55
[9] Luk
Luk Nur Mufidah, Pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Karakter dan Kearifan
Lokal (Al-Tahrir, Vol. 15, No. 1 Mei 2015) hal. 96
[10] Muh.
Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12
Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264) hal. 56
[11] Ahmed
An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj.
Sri Murniati, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 391-392.
[12] Ahmed
An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj.
Sri Murniati, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 392
[13]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal. 4-5
[14]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal. 6
[15]
Hamdani Khaerul Fikri, Analisis Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid Perspektif
Pendidikan Islam (Jurnal IAIN Mataram, Volume VIII Nomor 1 Januari - Juni 2015)
hal. 52-53
[16]
Miftahuddin, Berislam dalam Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid (Jurnal UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012) hal.23
[17]
Miftahuddin, Berislam dalam Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid (Jurnal UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012) hal.24
[18]
ibid
[19]
Miftahuddin, Berislam dalam Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid (Jurnal UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012) hal.15
[20] Ibid
hal. 71
[21]
ibid
[22]
Miftahuddin, Berislam dalam Bingkai Indonesia: Membaca Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid (Jurnal UNY, Volume VI Nomor 1 Tahun 2012) hal.71
[23]
Hamdani Khaerul Fikri, Analisis Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid Perspektif
Pendidikan Islam (Jurnal IAIN Mataram, Volume VIII Nomor 1 Januari - Juni 2015)
hal. 56
[24]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal. 17
[25]
ibid
[26] Muh.
Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur (Jurnal Farabi Volume 12
Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264) hal. 517
[27]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal. 14
[28]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal. 16
[29]
ibid
[30]
ibid
[31]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal.12
[32]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal.12
[33]
ibid
[34]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal.13
[35]
Swastiko Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal.14
[36] Swastiko
Putro, Persepsi Tokoh Lintas Agama terhadap Pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme Agama (Jurnal UIN Surabaya, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomo1
Volume 2 Tahun 2013) hal.14
Komentar
Posting Komentar