Pemikiran Hadits Kontemporer Muhammad Syuhudi Ismail
MUHAMMAD SYUHUDI ISMAIL
Makalah
ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada
Mata
Kuliah “Pemikiran
Hadits Kontemporer”
Oleh:
MULYANITA
Dosen Pengampu:
Dr. Fuad Thohari, MA
Program Studi Tafsir Hadits
Magister fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Penulis memuji-Nya, memohon
pertolongan kepada-Nya, dan ampunan kepada-Nya, dan penulis memohon
perlindungan kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri penulis, dan kejelekan
perbuatan-perbuatan penulis.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad
SAW yang mulia, dan juga kepada para sahabat dan pengikutnya yang melaksanakan
sunnahnya sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini merupakan hasil karya penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah
Pemikiran Hadits Kontemporer.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan pada penulisan
makalah ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala keterbatasan dan
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk kemajuan penulis
selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah
Mulyanita
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kesepakatan ulama
bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. melalui Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW, yang kemudian diajarkan kepada umatnya, sebagian besar ayat-ayatnya masih
bersifat global, tidak rinci. Misalnya, ketika al-Qur’an memerintah shalat, ia
tidak menerangkan cara-cara melaksanakannya, tidak menerangkan apa saja yang
menjadi syarat-syarat sahnya dan tidak pula menjelaskan apa saja yang menjadi
rukun-rukunnya. Demikian pula, al-Qur’an memerintah zakat, namun tidak
memaparkan batasan jumlah minimal harta yang wajib dizakati, ukuran dan
syarat-syaratnya. Semua itu tentunya membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad
SAW., dalam statusnya sebagai pembawa risalah Allah. Keterangan Nabi, baik berupa
ucapan, perbuatan maupun ketetapan, itulah yang biasa dikenal dengan istilah
Hadis Nabi.Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Kami (Allah) turunkan kepada
engkau (Muhammad) peringatan (al-Qur’an), agar engkau menerangkan kepada
manusia apa (maksud) yang diturunkan kepada mereka itu, dan agar mereka itu
berpikir.” Karena itu, hadis Nabi merupakan hujjah dalam syari’at Islam,
setelah al-Qur’an.[1]
Adapun perkembangan ilmu hadits di
Indonesia jika dilihat dari sejarah pengajaran dan penulisan ilmu hadits pertama
kali diadakan adalah di masjid, mushola dan surau. Setelah itu berkembang ke
tempat yang lebih khusus yaitu pesantren yang merupakan sekolah pada zaman
modern tetapi menggunakan metode halaqqah atau mempelajari ilmu sambal duduk di
dalam lingkaran di mana murid-muridnya duduk mengelilingi guru. Selanjutnya
pesantren berkembang dari hanya duduk di lantai hingga menggunakan bangku
panjang serta menggunakan meja untuk menulis. Pada tahap ini, peralatan untuk
mengaji yang diperlukan adalah buku bacaan, buku untuk menulis, alat tulis dan
sebagainya. Bahan pengajaran untuk ilmu hadits hamper semuanya mengguanakan
Bahasa Arab yang tidak berbaris atau kitab kuning serta Arab jawi atau tulisan
Arab dengan mengguanakan Bahasa Melayu, atau dikenal juga dengan Bahasa Arab
Melayu.[2]
Di Indonesia, Muhammad Syuhudi
Ismail dikenal sebagai seorang mubaligh, tokoh masyarakat, dan ilmuan Islam
yang memiliki akar tradisi intelektual yang sangat kuat, menguasai berbagai
bidang ilmu keislaman serta memiliki dedikasi tinggi terhadap pengembangan ilmu
hadis di Indonesia. Pemikirannya yang berkaitan dengan pengembangan kajian
hadis banyak diartikulasikan melalui sejumlah buku artikel dan makalah yang
dituliskannya melalui media lokal dan nasional. Tidak kurang dari 164 judul karya
ilmiah yang dihasilkannya, baik dalam bentuk risalah ilmiah, buku, hasil
penelitian, nota/catatan, makalah, naskah pidato, artikel, skripsi dan
disertasi. Karya yang dihasilkannya tidak hanya terbatas dalam bidang hadis, akan
tetapi termasuk dalam bidang fiqh, ilmu falak, pemikiran, dan bidang-bidang ilmu
lain. Ditambah lagi tiga buah karya berjilid dan tiga belas sumbangan maklumat
untuk Ensklopedi Islam. Di antara karya-karya Syuhudi tersebut, sekitar delapan
buah telah menjadi buku utama dalam mata pelajaran hadis dan ilmu hadis di
seluruh Fakultas Agama di Indonesia, khususnya jurusan Ilmu Hadis atau Tafsir
Hadis, misalnya Pengantar Ilmu Hadis (1987) dan Ulumul Hadis (1992).[3]
Bahkan di beberapa Perguruan Tinggi Islam karya-karyanya banyak menginsprasi
dan memberi pengaruh besar pada penulisan skripsi, tesis disertasi dan karya
ilmiah lainnya.
Di UIN Alaudin Makasar contohnya,
sebuah penelitian menyatakan bahwa faktor utama yang melatarbelakangi mahasiswa
ilmu hadits untuk memilih kajian skripsi mereka terhadap penelitian atau kritik
sanad dan matan hadits adalah munculnya karya-karya imiah dari para tokoh ilmu
hadits di Makassar seperti Syuhudi Ismail di penghujung dekade 80-an dan
selanjutnya menunjukkan geliatnya di awal tahun 1990-an.[4]
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka penulis ingin lebih dalam lagi menguraikan dan memperkenalkan
kembali Muhammad Syuhudi Ismail, tokoh hadits kontemporer yang berasal dari
Indonesia yang dikenal juga sebagai seorang yang prolific, ensklopedik dan
Ijtihad. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi
dan Riwayat Hidup M. Syuhudi Ismail
2.
Karir
dan karya M. Syuhudi Ismail
3.
Konstribusi
dan Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam Dunia Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi dan Riwayat Hidup Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
Nama lengkapnya adalah Muhammad
Syuhudi Ismail. Beliau dilahirkan pada tanggal 23 April 1943,15 di Rowo
Kangkung,16 Lumajang, Jawa Timur. Syuhudi merupakan putera kedua daripada
pasangan H. Ismail dan Sufiyatun,17 Keduaduanya adalah saudagar yang taat dalam
beragama.18 Bapaknya bernama H. Ismail bin Mistin bin Soemoharjo berasal dari
suku Madura dan meninggal dunia pada tahun 1994 M,19 sedangkan ibunya bernama
Sufiyatun binti Ja’far yang berasal dari suku Jawa dan meninggal dunia pada
tahun 1993M. Kakeknya Syuhudi (M. Jakfar) dikenal sebagai pendekar yang berasal
dari Ponorogo dan pernah menjadi polisi Belanda. Dengan demikian, Syuhudi lahir
dari keluarga yang berada dan beragama serta dari golongan “pendalungan’ (kawin
campur) antara suku Madura dan Jawa.Hal itu berarti bahwa beliau memiliki
karakteristik sebagai orang Madura dan sebagai orang Jawa yang taat beragama.[5]
Kehidupan Pada Masa kecilnya Syuhudi
dibesarkan di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa Timur. Masa kecilnya dihabiskan
dalam menuntut ilmu, meskipun ada waktunya diluangkan untuk kegiatan bermain
seperti kebiasaan kanak-kanak yang lainnya, akan tetapi dominannya masanya
digunakan dalam menimba ilmu duniawi dan ukhrawi. Pendidikan awal M. Syuhudi
Ismail dimulai dari Sekolah Rakyat Negeri (SRN), tepatnya ketika ia berusia
enam tahun, yaitu pada tahun 1949 M. Selama enam tahun ia memperoleh Pendidikan
dasar di Sidorejo, yang masih berada di sekitar kabupaten Lumajang, sampai pada
tahun 1955. Hingga pada akhirnya ia memperoleh ijazah di sekolah tersebut. Di
samping itu, M. Syuhudi Ismail juga mendalami ilmu-ilmu keagamaan di waktu pagi
dan sore hari melalui bimbingan orang tuannya dan seorang ulama dari salah satu
pesantren di Jember, Jawa Timur, yang bernama Kiayi Mansyur. Pada kiayi
Mansyur, M. Syuhudi Ismail sangat tekun dan giat belajar, hingga ia mampu
mempelajari dan menguasai berbagai ilmu agama. Pasca memperoleh ijazah keguruan
agama, ia diminta ayahnya untuk mengabdiakn diri mengajar di sebuah madrasah di
daerahnya, Rowo Kangkung. Namun permintaan ayahnya tersebut ditolak denagn
alasan karena ia masih ingin menimba ilmu, dan memeperdalam pendidikan
formalnya.[6] Oleh
karena itu, setelah menamatkan Sekolah Rakyat Negeri (6 Tahun), dan kemudian
menamatkan pendidikanya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Malang selama
4 tahun dan tamat pada tahun 1959. Selanjutnya ia meneruskan Sekolah Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta selama 3 tahun dan amat pada tahun
1961.[7]
Sebagai seorang ayah yang bijak dan
memahami, H. Ismail merelakan kepergian anaknya untuk menuntut ilmu. Namun,
beliau berpesan agar senantiasa berdisiplin, bekerja keras, melakukan ibadah
pada awal waktu dan mencari tempat tinggal yang berdekatan dengan Masjid. Akhirnya,
dengan semangat dan tekad yang tinggi setelah beliau sukses menyelesaikan pendidikannya
di PHIN pada tahun 1961. Dalam tahun tersebut juga, Syuhudi dipilih menjadi
salah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bagian Pengadilan Agama di Ujungpandang,
Sulawesi Selatan. Meskipun berstatus sebagai seorang pekerja pemerintahan yang
kebanyakkan jadwal tugasnya dipenuhi dengan kegiatan masyarakat. Namun,
semangatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak berhenti begitu saja.
Selanjutnya Syuhudi melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
“Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Cabang Makassar (kemudian menjadi IAIN “Alauddin”
Ujungpandang). Pada tahun 1965, impiannya untuk melanjutkan pendidikannya direalisasikan
di mana beliau memperoleh ijazah Sarjana Muda dengan risalah ilmiah yang
berjudul: “Tempus Delictus Dalam Hukum Pidana Islam.” Kemudian, pada
tingkat pendidikan Sarjana Lengkap beliau melanjutkan pendidikan di Fakulti
Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang dan tamat pada tahun 1973 dengan Skripsi
(kertas kerja ilmiah) yang berjudul: “Pelaksanaan Syari’at Islam di
Indonesia.[8]
Kemudian beliau mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studinya (S-2) pada program Pasca Sarjana Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tamat pada tahun 1985.
Kemudian ia meneruskan studinya (S-3) pada lembaga yang sama dan tamat pada
tahun 1987,[9]
dengan judul diseratsi “Kaidah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah”. Karya beliau tersebut mendapatkan
tanggapan baik dari berbagai pihak, sehingga beberapa penerbit berkeingian
untuk menerbitkan karyanya itu. Di sisi lain Prof. Dr. M. Quraish Shihab, salah
seorang dosen promotor karya M. Syuhudi Ismail tersebut memberikan komentar
bahwa M. Syuhhudi Ismail adalah peraih gelar doktoral ilmu hadits pertama yang
dihasilkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memperoleh yudisium “amat
baik”. Ia juga memperoleh piagam sebagai “Doktor Terbaik” dari rektor IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dalam acara wisuda di lembaga tersebut. Lebih jauh,
M. Syuhudi Ismail merupakan satu-satunya mahasiswa yang memperoleh dua predikat
kehormatan akademik sepanjang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta melaksanakan
program doktornya,[10]
baik untuk program “bebas” maupun program pendidikan Fakultas Pascasarjana.
Disertasi ini telah berhasil membuktikan bahwa kaedah kesahihan sanad atau
kritik ekstern yang dipakai oleh kebanyakan (jumhur) ulama hadis untuk meneliti
sahih dan tidak sahihnya suatu sanad hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Ketika berusia 22 Tahun, tepatnya
pada tahun 1965 M., beliau menikahi dengan seorang gadis berdarah Bugis
(Sidrap), yaitu Nurhaedah Sanusi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniakan
empat cahaya mata, akan tetapi yang masihhidup hanya tiga orang, yaitu: Yunida
Indriani, S.E., Khairul Muttaqien, Muh. Fuad Fathani. Sementara, isterinya yang
tercinta, Nurhaedah Sanusi meninggal dunia pada sekitar awal tahun 1972. Pada penghujung
tahun itu juga, beliau meminang Habiba Sanusi (kakak kandung Nurhaeda).
Manakala, dari perkawinannya yang kedua itu, beliau dikaruniakan dua putera
yaitu Muh.Ahsan dan Muh.Irfan. Pernikahan yang kedua Syuhudi mengalami
permasalahan di mana, sebagai seorang suku kaum Jawa dan Madura, prinsip
keluarga Syuhudi pamali (pemali) yang melarang dalam menikahi saudara
sekandung. Disebabkan prinsip tersebut bukannya dari ajaran agama Islam dan
demi masa depan anaknya, maka Syuhudi dengan rela menikahi kakak iparnya
(Habiba Sanusi). Hal ini, membuktikan bahwa semangat keagamaan yang tinggi
dapat menandingi tradisi yang tidak seiring dengan landasan agama Islam yang
dianutinya. Pada hari Ahad, 19 November 1995, yaitu di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Syuhudi telah wafat dan dikebumikan pada hari Senin, 20
November 1995 di tanah Pekuburan Islam (Arab) Bontoala, Ujung Pandang.[11]
B.
Karir dan karya M. Syuhudi Ismail
Bila melihat M. Syuhudi Ismail lebih
dekat bagaimana aktivitasnya ketika ia masih hidup, maka dapatlah dikatakan
beliau tergolong sangat aktif dan sibuk. Selain tugas-tugasnya sebagai pegawai
dan staf pengajar, M. Syuhudi Ismail juga termasuk rajin dan giat menulis
pemikirannya dalam bentuk makalah penelitian, bahan pidato, artikel, diktat
maupun buku, baik untuk kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin
Ujung Pandang sendiri, atau untuk forum lainnya, maupun untuk dimuat dalam
majalah atau surat kabar yang terbit di Ujung Pandang dan Jakarta, serta buku
yang sudah diterbitkan dan dipublikasikan secara nasional. Agar mendapat
gambaran secara utuh berkenaan karya-karya tulisnya, terutama yang relevan
dengan topik tulisan ini, maka berikut ini akan diuraikan hasil karyanya dengan
membuat klasifikasinya kepada empat kelompok, yaitu:[12]
1.
Dalam
bentuk makalah
2.
Dalam
bentuk artikel
3.
Dalam
bentuk eksiklopedi
4.
Dalam
bentuk karya buku yang sudah diterbitkan
Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menguraiakan karyanya satu
persatu.
1.
Dalam
bentuk makalah
Adapun
penulisan makalah yang dibuat oleh M. Syuhudi Ismail yang tidak diterbitkan cukup
banyak, hanya saja makalah tersebut keseluruhannya dibuat di Ujung Pandang.
Judul-judul makalah tersebut antara lain sebagai berikut:[13]
1)
Metode
dakwah menurut sunnah Rasulullah (Ujung Pandang, 1974).
2)
Beberapa
teori kepemimpinan (Ujung Pandang, 1974).
3)
Mahasiswa
yang bertanggung jawab (Ujung Pandang, 1975).
4)
Kepemimpinan
Nabi Muhammad s aw. (Ujung Pandang, 1977).
5)
Sekitar
awal hisab bulan (Ujung Pandang, 1977).
6)
Masalah
al - Jarh wa at -Ta’dil dalam penelitian hadis (Ujung Pandang, 1977).
7)
Waktu
salat dan arah kiblat (Ujung Pandang, 1977).
8)
Al -
Mat-ridi, sejarah hidup dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
9)
Sokrates
dan filsafatnya (Ujung Pandang, 1978).
10)
Syah
Waliyullah ad - Dahlawi, sejarah hidup dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
11)
‘Usmaini
muda, pemuka-pemuka penting dan pemikirannya (Ujung Pandang, 1978).
12)
Sebab
- sebab orang Islam memasuki aliran kebatinan (Ujung Pandang,1978).
13)
Syihab
ad-dinSuhrawardi al-Maqt (Ujung Pandang, 1979).
14)
Administrasi
perkantoran (Ujung Pandang, 1980).
15)
Sistem
pemahaman dan pendekatan al-I ads (Ujung Pandang, 1982).
16)
Etika
Islam dan rumah tangga (Ujung Pandang, 1982).
17)
Sekitar
landasan dan peng alaman kaum Sufi dan kaum Syari ‘ah (Ujung Pandang, 1982).
18)
Beberapa
hadis populer dalam masyarakat (Ujung Pandang, 1982).
19)
Penerapan
arah kiblat pada bangunan masjid (Ujung Pandang, 1982).
20)
Pelaksanaan
hisab dan ru’yah awal bulan (Ujung Pandang, 1982).
21)
Ijtihad
masa lalu dan kemungkinannya masa kini (Ujung Pandang, 1982).
22)
Organisasi
dan administrasi perkantoran (Ujung Pandang, 1983).
23)
Islam
dilihat dari segi ajaran dan agama (Ujung Pandang, 1984).
24)
Islam
dan berwiraswasta (Sengkang, Sulawesi Selatan, 1991).
25)
Sumber
daya manusia dalam pembangunan menurut perspektif Islam (Ujung pandang, 1992)
26)
Muballig
dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (Ujung Pandang, 1994).
27)
Zakat
al-fitri menurut petunjuk hadis Nabi (Ujung Pandang, 1994).
28)
Sekitar
pengentasan kaum Muslimin menurut petunjuk hadits Nabi (Watampone, 1995)
2.
Dalam
Bentuk Artikel
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk artikel yang
dipublikasikan di berbagai
media cetak
dalam bentuk surat kabar dan majalah, baik di Ujung Pandang maupun di Jakarta
adalah cukup banyak. Berikut ini akan dikemukakan judul-judul artikel tersebut
sebagai berikut:[14]
1)
Imam
al - Bukhari dan beberapa keistimewaannya (Surat kabar, Jakarta, 1975).
2)
Pria,
Wanita, Neraka dan Surga (Majalah, Jakarta, 1975).
3)
Kebahagian
menurut Aristoteles dan Islam (Majalah, Ujung Pandang, 1979).
4)
Syah
Waliyullah ad - Dahlawi, pembaharu pemikiran Islam di India (Majalah, Jakarta,
1979).
5)
Maka
pemu da itu tidak lagi mau berzina (Majalah, Jakarta, 1980).
6)
Benci
tetapi rindu (Majalah, Jakarta, 1981).
7)
Jadilah
suami yang baik (Majalah, Jakarta, 1982).
8)
Hadis
sahih benar - benar teruji secara ilmiah (Harian Pelita, Jakarta, 1987).
9)
Kesahihan
sanad hadis lebih kritis dibanding ilmu sejarah (Harian Kompas, Jakarta, 1987).
10)
Operasi
plastik perbuatan dilaknat Nabi (Harian Pedoman Rakyat, Ujung Pandang, 1988).
11)
Kasus
euthanasia dalam pandangan Islam (Mimbar Karya, Jakarta, 1989).
12)
Sewa
rahim haram menurut hukum Islam (Harian Pedoman Rakyat, Ujung Pandang, 1989).
3.
Dalam
Bentuk Penulisan Eksiklopedi
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk eksiklopedi adalah atas
permintaan Departemen Agama, yakni bentuk sumbangan pemikirannya berupa entry.
Berikut ini dikemukakan judul-judul dari entry tersebut sebagai berikut:[15]
1)
Hadis
2)
Hadis
Sahih
3)
Hadis
Hasan
4)
Hadis
Dha’if
5)
Ab-
Hurairah
6)
Tabi’in
7)
Ab-
Manr al-Maturidi
8)
Ibn
Majah
9)
At -
Tirmizi.
4.
Dalam
Bentuk Buku
Karya tulis M. Syuhudi Ismail dalam bentuk buku yang telah
diterbitkan dan dipublikasikan, disini penulis akan memberikan penjelasan
singkat terhadap buku-buku tersebut, sebagai informasi awal dalam rangka
meneliti pemikirannya. Adapun buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:[16]
1)
Kaidah
kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta, 1988 M)
2)
Pengantar
Ilmu Hadis (Angkasa, Bandung, 1988 M)
3)
Dampak
Penyebaran Hadis Palsu (Berkah, Makasar, 1989 M)
4)
Cara
Praktis Mencari Hadis (Bulan Bintang, Jakarta, 1991 M)
5)
Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Bulan Bintang, Jakarta, 1993)
6)
Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal dan Lokal (Bulan Bintang, Jakarta, 1994)
Dalam berinteraksi sosial, Syuhudi
sangat terbuka, artinya bergaul dengan siapa saja tanpa memandang golongan,
apakah itu Nahdiyin maupun orang tersebut Muhammadiyah.Hal ini dapat dilihat
ketika Syuhudi menjadi mahasiswa di PHIN. Dimana tenaga pengajar di lembaga
pendidikan tersebut pada umumnya berasal dari kalangan Perserikatan
Muhammadiyah. Selain itu, keterbukaannya ditunjukkan dengan keinginannya untuk
menetap di Masjid Ta’mirul Masajid, yaitu sebuah masjid yang terbesar
Muhammadiyah pada tahun 1962 dan mendalami ilmu agama dengan Dr. Madjidi, yaitu
salah seorang tokoh Muhammadiyah terkemuka di Ujungpadang.
Ketertarikannya dalam bidang politik
tumbuh sejak beliau menjadi Mahasiswa IAIN Yogyakarta Cabang Makassar.Di mana
pada saat itu beliau bergabung dengan barisan Kesatuan Mahasiwa Muslim
Indonesia (SEMMI), yaitu sebuah organisasi mahasiswa di bawah naungan Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pengalaman beliau dalam SEMMI menjadikan
Syuhudi aktif berpolitik sehingga terpilih menjadi Ketua I Pemuda Muslim
Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan (1965-1969), Sekretaris Umum PSII Selawesi
Selatan (1970-1973) dan anggota DPRD termuda Tingkat I Sulawesi Selatan
(1966-1973.
Karir politiknya berakhir ketika
PSII bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada bulan Januari
1973. Setelah mengakhiri karir politiknya, kegiatan Syuhudi terfokus pada pengembangan
pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Namun sebagai seorang yang pernah menjadi
ahli politik, tentunya trilogi Syarikat Islam yang dianutnya tetap teguh beliau
jalankan, yaitu (1) sebersih-bersih tauhid; (2) setinggi-tinggi ilmu pengetahuan;
(3) sepandai-pandai siyasah. Dalam hal ini terlihat pada sikap beliau yaitu
mengundurkan diri dari ranah politik praktis yang dianggapnya tidak menguntungkan
lagi; pemahaman kontekstual terhadap hadis Nabi dan konsentrasi pada
pengembangan IAIN Alauddin Ujungpandang; dan keterikatannya dengan sang khalik
tetap menjadi landasan dalam perjuangan. Sementara komitmen keilmuaannya
terlihat dari pesan-pesannya kepada anak-anaknya, bahwa “belajar adalah tugas
pokok, karena beliau tidak meninggalkan harta warisan kecuali meninggalkan
sejumlah buku dan kitab sebagai bekal ilmu pengetahuan.”
Upaya yang dilakukannya dalam bidang
pendidikan adalah membina Fakultas Syari’ah secara intensif dan mempersiapkan
calon-calon Hakim Agama yang handal, menyelesaikan Program Doktor, dan membuka
Program pascasarjana IAIN Alauddin dengan konsentrasi ilmu-ilmu kesumberan,
Tafsir dan Hadis sejak 1989 bersama kawan-kawannya. [17]
C.
Konstribusi dan Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam Dunia Hadits
Berdasarkan dari karya-karya M.
Syuhudi Ismail yang telah penulis sebutkan sebelumnya, sangat jelas bahwa
beliau adalah seorang yang tokoh ilmuwan Indonesia yang prolifik dan
ensiklopedik. Karyanya dalam bentuk buku menjadi referensi utama pada mata
kuliah Ilmu hadits di Perguruan Tinggi Islam Indonesia dan menjadi karya
terpenting. Dikatakan terpenting karena karya-karya tersebut berpengaruh dalam
perkembangan kajian hadis di Indonesia, yaitu mengubah peta kajian hadis, khususnya
kajian hadis di PTAI Indonesia, dari kajian yang terfokus pada kritik sanad
saja menjadi kajian kritik sanad dan matan. Inilah bukti aspek prolifik dan ensiklopedik
bagi tokoh ilmuan Indonesia yang berasal dari Lumajang ini.
Di antara pemikirannya adalah beliau
memperkenalkan penggunaan istilah kaedah mayor dan kaedah minor sebagai acuan,
baik pada sanad maupun matannya. Semua syarat, kriteria, atau unsur yang
berstatus umum pada sanad atau matan dikategorikan kaedah mayor, sedangkan yang
berstatus khusus dikategorikan sebagai kaedah minor. Pemikiran yang lainny ayang
menyangkut dengan metode pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang
berjudul “Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual: telaah ma’ani al-hadis
tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal. ”Menurut beliau bahwa
ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula
yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus.Ini menunjukkan
bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal, temporal dan lokal.[18]
Mengenai kemutasilan sanad, M.
Syuhudi Ismail berpendapat bahwa perawi yang berkualitas tsiqah ialah perawi
yang dinilai dengan alfâz al-ta’dîl dalam tingkat kesatu, kedua dan
ketiga, yakni lafal “Fulan adalah perawi yang paling tsiqah”, “Fulan adalah
perawi yang tsiqah lagi hujjah”, “Fulan adalah perawi yang tsiqah”, atau
lafal-lafal lain yang semisal. Kaitannya dengan kemuttasilan sanad hadis,
perawi-perawi yang berkualitas inilah yang telah memenuhi syarat. Bahkan
disyaratkan pula bahwa perawi yang tsiqah itu tidak termasuk perawi yang
mudallis, yakni perawi yang suka menyembunyikan cacat hadis. Dalam hal ini, M.
Syuhudi Ismail mengatakan: “Selain itu, ada periwayat yang dinilai ṡiqah oleh
ulama ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila ia menggunakan lambang
periwayatan haddaṡani atau sami’tu, sanadnya bersambung, tetapi bila
menggunakan selain kedua lambang tersebut, sanadnya terdapat tadlîs
(penyembunyian cacat). Periwayat yang ṡiqah, namun bersyarat itu, misalnya ‘Abd
al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij, yang dikenal dengan sebutan Ibn Juraij
(wafat 149/150 H.)”.
Alhasil, menurutnya, suatu sanad
barulah dapat dinyatakan bersambung (muttasil) apabila seluruh perawi dalam
sanad itu dinilai oleh ulama dengan alfâz al-ta’dîl dalam tingkat pertama,
kedua dan ketiga, dan tidak dinilai mudallis (dalam kasus tertentu). Selain
itu, dalam sanad tersebut masing-masing perawi dengan perawi sebelumnya itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadis.[19]
Tentang aspek ijtihadi Muhammad
Syuhudi Ismail, khususnya di bidang pemahaman hadis dan metodelogi pemahaman
hadis dapat ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran beliau dalam menganalisis
fikih hadis khususnya melalui karyanya yang dicetak atau artikel yang dimuat
pada koran-koran nasional. Aspek ijtihadi beliau, melalui karyanya dalam
mengkaji fikih hadis tentang persoalan kontemporer seperti bedah plastik, sewa
rahim, kepemimpinan perempuan dan lain-lain. Maka terlihat bahwa Syuhudi
cenderung sebagai tokoh pemikir yang “revivalis” atau “modernis tradisionalis”.
Artinya pembaharuan yang beliau tawarkan masih terikat kuat dengan
penafsiran-penafsiran lama, berusaha menghidupkan kembali penafsiran-penafsiran
tersebut. Namun, beliau masih membuka diri terhadap kemajuan peradaban Barat
dalam porsi yang sangat terbatas. Sementara salah satu sisi menarik lain
tentang Syuhudi adalah beliau seringkali melontarkan pemikiran yang kadang kala
berbeda dengan pandangan ulama hadis sebelumnya yang telah dianggap mapan dalam
masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i,
misalnya tentang keadilan Sahabat. Mayoritas ulama hadis menyebutkan bahwa para
sahabat semua adil sementara Syuhudi menolak premis ini. Berikut ini akan
dijelaskan secara ringkas beberapa hukum yang dihasilkan dari analisis fikih
hadis Muhammad Syuhudi Ismail yang terdapat di dalam karyanya.[20]
a.
Kepemimpinan
Perempuan:
“Usman bin
al-Haisam menceritakan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami, dari Hasan,
dari Abi Bakrah berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar
dari Rasulullah Saw. pada perang Jamal setelah saya hampir ikut serta dalam
perang Jamal lalu berperang bersama mereka, Abi Bakrah berkata: Ketika sampai
berita kepada Rasulullah Saw. bahwa penduduk Persia telah mengangkat bintu
Kisra sebagai Ratu, Rasulullah bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum jika
mereka dipimpin oleh seorang wanita.”
Berpegang kepada hadis ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa hadis
ini memberikan isyarat bahwa perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala
negara, pemimpin masyarakat, termasuk hakim atau berbagai yang setingkat. Pertimbangan
mereka adalah diantara syarat menjadi pemimpin adalah “al-zukurah” sifat
lakilaki. Selain itu, menurut petunjuk syara’ wanita hanya diberi tanggung
jawab untuk menjaga harta suami. Sementara menurut Muhammad Syuhudi Ismail,
dengan mempertimbangkan sosio historis, Nabi sebagai seorang yang memiliki
kearifan menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada
perempuan yang tidak akan sukses. Sebab bagaimana mungkin sukses, jika
pemimpinnya saja adalah orang yang tidak dihargai oleh masyarakatnya. Padahal
salah satu syarat ideal seorang pemimpin adalah kewibawaan, disamping mempunyai
kepemimpinan (leadership) yang mempuni. Sementara perempuan saat itu dipandang
tidak mempunyai kepemimpinan dan kewibawaan untuk menjadi atau menjabat sebagai
pemimpin masyarakat.
Namun jika sebaliknya, yaitu kondisi historis, sosiologis, dan
antropologis masyarakat berubah, di mana perempuan telah memiliki kemampuan
memimpin yang baik, dan masyarakat pun telah dapat menghargai perempuan dengan
baik dan menerimanya sebagai pemimpin, maka boleh saja perempuan diangkat
menjadi seorang pemimpin. Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum perempuan
makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum perempuan diberi kedudukan
yang sama dengan kaum laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberi peluang sama kepada
kaum perempuan dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan.
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin,
serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya
perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, hadis di atas
harus dipahami secara kontekstual sebab kandungan petunjuknya bersifat
temporal.
b.
Bedah
plastik
“Dari Abdullah
berkata: Allah telah melaknat orang-orang yang memakai tahi lalat palsu dalam
bentuk tato, orang yang mencukur alisnya, dan meratakan gigi dengan kikir untuk
mempercantik diri dengan mengubah apa yang telah dijadikan Allah.”
Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi plastik yang
dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk perbuatan yang dilaknat oleh
Nabi Muhammad Saw. tetapi jika hal tersebut dimaksudkan untuk pengobatan atau menghindarkan
diri dari sesuatu yang membahayakan, maka hukumnya boleh. Beliau menambahkan
bahwa, kita memang harus hati-hati dalam menetapkan ‘illat suatu hukum, dan
untuk memahami hadis di atas, kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab
terjadinya hadis tersebut dan latar belakang penetapan hukum yang dikehendaki
oleh Nabi Saw. Illat keharaman pembuatan
tahi lalat palsu dan sebagainya untuk kepentingan kecantikan adalah karena
perbuatan itu telah mengubah apa yang telah dijadikan Allah. Harum-haruman,
perhiasan, dan atau semir rambut sama sekali tidak mengubah jasad manusia.
Karena itu, hal tersebut tidak dapat dianalogikan dengan operasi plastik untuk
maksud kecantikan.
c.
Pemimpin
dari Suku Quraisy
“Dari Nabi Saw.
Bersabda: Dalam urusan beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini orang
Quraish selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun mereka
tinggal dua orang saja.”
Menurut Syuhudi, apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan
dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis
dinyatakan, Nabi dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin
masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang
bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak
sejalan dengan misalnya petunjuk al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling
mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan Suku Quraish
memang bukan ajaran dasar dari Islam yang dibawa oleh Nabi; Hadis ini
dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal.
d.
Rukyat
dan Hisab
“Berpuasalah
kamu sekalian karena telah melihat bulan (tanggal satu Ramadhan); dan berhari
rayalah setelah kamu sekalian melihat bulan (tanggal satu Syawal). Apabila
(cuaca di langit menjadikan bulan) terlindungi dari (pemandangan) kamu
sekalian, maka sempurnakanlah (bilangan hari untuk) bulan Sya’ban (menjadi)
tiga puluh hari.”
Menurut Syuhudi, perintah Nabi untuk memulai puasa dan berhari raya
atas dasar melihat bulan tanggal satu Qamariyah dengan penglihatan mata kepala
(rukyah al hilal bi al-ain) adalah atas pertimbangan keadaan umat Islam pada
waktu itu. Mereka belum mampu melaksanakan kegiatan hisab awal bulan Qamariah
dan belum mungkin memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih karena
alat-alat yang demikian itu belum dikenal. Kalau umat Islam telah mampu, maka
penyaksian tanggal satu Qamariah boleh dengan menempuh kegiatan hisab yang
sangat teliti dan menggunakan alat yang berteknologi canggih. Dengan demikian,
perintah berpuasa berdasarkan penyaksian tanggal satu bulan Qamariah dengan
mata kepala (rukyah alhilal bi al’ayn) tersebut bersifat dan berlaku secara
temporal. Tatkala umat Islam telah memiliki pengetahuan dan teknologi tinggi,
maka pengetahuan dna teknologi tersebut boleh dan bahkan harus digunakan untuk
menyaksikan bulan tanggal satu Ramadhan dan lain-lain.
Adapun ijtihad Syuhudi pada pengembangan ilmu hadis adalah sebagai berikut;
1.
Pemikiran
tentang Kaedah Kesahihan Sanad
Untuk mengkaji
sanad hadis, Syuhudi menawarkan langkah-langkah sistimatis dalam kedudukannya
sebagai salah satu kaidah yang bersifat ilmiah. Langkah-langkah tersebut
tersusun sebagai berikut:
1)
melakukan
takhrij alhadits
2)
melakukan
al-itibar
3)
meneliti
terhadap pribadi periwayat dan metode periwayatannya, meliputi
a)
Segi-segi
periwayat, yakni kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya;
b)
Segi-segi
persambungan sanad, yakni lambang-lambang metode periwayatan dan hubungan
periwayat dengan metode periwayatan; dan
c)
meneliti
syuzuz dan ‘illat sanadnya.
4)
Menyimpulkan
hasil penelitian. Dalam penelitian sanad ini, Syuhudi menyebutkan tentang
unsur-unsur kaedah kesahihan sanad dengan istilah yang disederhanakan “kaidah
mayor dan minor”. Meskipun tawarannya
agak sedikit berbeda dengan yang dianut selama ini oleh ulama hadis, tapi
kerangka acuan yang dipakai masih tetap sama. Kalangan ulama menetapkan sedikitnya
lima unsur kaidah mayor kesahihan sanad hadis, yakni:
a)
Sanad
bersambung
b)
Periwayat
bersifat adil
c)
Periwayat
bersifat dhabith
d)
Terhindar
dari syuzuz,
e)
Terhindardari
‘illat.
Sementara Syuhudi hanya menetapkan tiga unsur mayor, yakni:
a)
Sanad
bersambung
b)
periwayat
bersifat adil
c)
periwayat
bersifat dhabith atau tamm dhabith.
Adapun terhindar dari syudzudz dan ‘illat dimasukkan-nya sebagai
unsur minor bagi periwayat yang bersifat dhabith atau tamm al-dhabith.
2.
Pemikiran
tentang Penelitian Matan
Pada aspek
penelitian tentang matan hadis langkah-langkah sistimatis yang ditawarkan
beliau adalah sebagai berikut:
1)
Meneliti
matan dengan melihat kualitas sanadnya
2)
Meneliti
susunan lafadh berbagai matan yang semakna
3)
Meneliti
kandungan matan; dan
4)
Meyimpulkan
hasil penelitian. acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan matan hadis .
Adapun kaidah mayor bagi matan
yang sahih adalah terhindar dari syuzuz dan illat.
3.
Pemikiran
tentang Pemahaman Kandungan Hadis
Syuhudi dalam memahami
hadis Nabi cenderung tematik (syarh al-maudhui) dengan pendekatan holistic
(terpadu dan menyeluruh). Beliau menekankan pemahaman terhadap hadis Nabi
dengan mempertimbangkan beberapa hal, yakni:
a)
Segi
bentuk matan dan cakupan petunjuknya
b)
Fungsi
dan kedudukan Nabi Saw, dan
c)
Segi
latar belakang terjadinya. Selain itu, mempertimbangkan petunjuk hadis Nabi
yang tampak bertentangan juga sangat diperlukan
Di dalam salah satu bukunya yang
berjudul “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani alHadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal”, Syuhudi Ismail
menyampaikan bahwa manusia pada setiap generasi mempunyai beberapa
kecenderungan-kecenderungan, yaitu; persaman, perbedaan dan kekhususan.
Perbedaan dan kekhususan yang terdapat pada setiap generasi manusia, pada
dasarnya dilatar belakangi oleh perbedaan waktu dan perbedaan tempat. Sementara
itu, ajaran Islam (al-Qur`an maupun hadis) yang dinilai sebagai ajaran yang
shalih li kulli zaman wa makan jika dihubungkan dengan persamaan dan perbedaan
yang terjadi dari generasi ke generasi dalam dinamika manusia mengharuskannya
terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu universal (tidak terikat) dan
temporal/lokal (terikat). Keadaan yang seperti ini menjadikan matan (mean/idea)
yang terkandung dalam sebuah hadis perlu disesuaikan dengan faktor-faktor
tersebut, sehingga pemaknaan matan hadis dapat dipahami sesuai dengan perubahan
kondisi yang terus berkembang. Di samping itu, hadis yang dipahami sebagai
setiap ucapan dan tindakan yang bersumber dari Rasulullah SAW jika dikaitkan
dengan posisi Nabi, maka akan menimbulkan kompleksitas pemahaman. Hal ini
karena ragam posisi yang diduduki oleh Nabi. Semua posisi dan peran Nabi
tersebut, sudah barang tentu menuntut hadis dipahami dan dikaitkan dengan peran
yang dimainkan oleh beliau pada saat hadis tersebut disabdakan.
Lain dari pada itu, yang juga sangat
perlu diperhatikan sebagai salah satu metode untuk memahami hadis menurut
Syuhudi Ismail adalah memperhatikan bentuk komunikasi Nabi dengan para sahabatnya,
sebab sabda Nabi tidak selamanya berjalan satu arah (tanpa didahulu dengan
pertanyaan atau peristiwa tertentu/non asbab al-wurud) tetapi ada sebagian
sabda Nabi merupakan hasil komunikasi dua arah (yang didahului dengan
pertanyaan atau peristiwa/asbab al-wurud). Komunikasi dua arah tersebut
adakalanya bersifat khusus dan berlaku hanya bagi lawan bicara Nabi pada saat
itu, dan ada yang bersifat umum yang berlaku bagi keseluruhan ummat Islam dari
generasi ke generasi. [21]
Dari beberapa faktor penting yang
dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami matan hadis tersebut di atas.
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman matan hadis harus mempertimbangkan beberapa
hal, yaitu pribadi Nabi dan suasana yang melatar belakanginya. Hal ini karena
dengan mempertimbangkan kedua aspek tersebut, maka dapat dipahami, mana di
antara hadis-hadis Nabi yang bersifat tekstual (tersurat), sehingga menuntut
untuk dipahami sesuai dengan yang tertulis, dan mana hadis yang bersifat
kontekstual yang dalam istilah muhaddis disebut dengan mafhum al-nas/ma’qul
al-nas yang harus mempertimbangkan petunjuk-petunjuk yang kuat sehingga
mengharuskan pemahaman yang kontekstual.
Berikut adalah beberapa langkah
penelitian matan hadis yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal dan Lokal. [22]
1.
Langkah
Penelitian Hadis menurut Syuhudi Ismail
a.
Meneliti
Hadis Melalui Bentuk Matan (mean/Idea)
Hadis Menurut Syuhudi Ismail, secara garis besar bentuk matan hadis
dapat dikategorikan kepada jawami’ al-kalim (ungkapan singkat dan padat makna),
tamsil (perumpamaan), analogi (qiyasi), bahasa simbolik (ramzi) dan dialog. Dari macam-macam bentuk matan hadis tersebut,
masing-masing berkisar kepada masalah apakah teks hadis dapat dipahami secara
kontekstual, bersifat universal atau temporal, temporal kondisional ataukah
tidak. Berikut adalah beberapa contoh tentang hadis-hadis nabi SAW dilihat dari
bentuknya dan penilaian Syuhudi Ismail terkait dengan aspek ma’ani-nya apakah
dipahami secara tekstual, kontekstual dan seterusnya.
1)
Jawami’
al-Kalim
Contoh Hadis
yang dipahami secara tekstual dan bersifat Universal adalah hadis “perang itu
siasat”. Matan hadis ini tidak bisa dipaksakan untuk dipahami secara
kontekstual, karena dalam pandangan Syuhudi Ismail, dengan mempertimbangkan
makna yang dikandung hadis tersebut, maka sudah dapat dipahami dan berlaku
universal. Karena pada faktanya. Peperangan adalah “adu” strategi, dan hal ini
tidak berubah dari masa ke masa.[23]
Contoh lain
dari hadis dalam bentuk jawami’ al-kalim adalah hadis tentang keharaman khamr.
Hadis ini dapat dipahami secara tekstual, bersifat universal namun temporal.
Maksud dari bersifat temporal disini adalah, kepada orang-orang tertentu
meminum khamr diperbolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah. Misalnya bagi
orang yang baru saja masuk Islam, yang sebelumnya mempunyai kebiasaan meminum
khamr, maka proses pelarangan minum khamr baginya melalui tahapan dan tidak
sekaligus atau ketika ada kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan seseorang
meminum khamr. Menurut Syuhudi Ismail, bentuk hadis jawami’ al-kalim pada
umumnya dapat dipahami secara tekstual dan menunjukkan ajaran Islam yang
universal. Meskipun ada juga yang dapat dipahami secara kontekstual.[24]
2)
Tamsil
Hadis yang berbentuk tamsil (perumpamaan) umumnya mengandung ajaran
agama Islam yang bersifat universal. Contohnya adalah hadis perumpamaan tentang
persaudaraan antar muslim. Dalam sebuah hadis, diumpamakan dengan konstruk
bangunan, dan di dalam hadis yang lain diumpamakan dengan susunan tubuh. Kedua
hadis tersebut bersifat universal.[25]
Meskipun demikian, bukan berarti hadis dengan bentuk tamsil selalu
dipahami secara tekstual, karena kenyataannya ada beberapa yang harus dipahami
secara kontekstual. Contohnya adalah hadis yang artinya, “Dunia adalah
penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir.” Jika dipahami secara
tekstual, maka dapat dipahami bahwa orang mukmin selamanya “harus” menderita di
dunia. Namun jika dipahami secara kontekstual, maka dapat dipahami bahwa arti
“penjara” pada hadis tersebut adalah adanya perintah agama yang bersifat
kewajiban, anjuran, dan ada larangan-larangan. Sehingga terkesan membatasi
ruang gerak orang mukmin di dunia.[26] Di
samping itu, ada pula hadis yang dapat dipahami secara tekstual maupun
kontekstualsecara bersamaan. Contohnya adalah hadis tentang balasan bagi orang
yang berhaji sesuai dengan tuntunan syari’at. Secara tekstual dapat dipahami
bahwa sebagaimana perumpamaan di dalam hadis yang artinya: “ia kembali seperti
pada saat dilahirkan oleh ibunya”.[27] Sedangkan
secara kontekstual dapat dipahami bahwa dosanya diampuni oleh Allah sebagaimana
bayi yang baru dilahirkan.
3)
Analogi
Matan hadis dengan bentuk analogi, dapat dilihat dari hadis yang
menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual adalah sedekah, sahabat kemudian
bertanya bagaimana hal itu dinilai sedekah? Rasulullah SAW artinya, “Bagaimana
pendapatmu jika hal itu dilakukan di jalan yang haram”.[28] Jawaban
Nabi ini bersifat analogik. Hadis ini dapat dipahami secara tekstual, dan
karena yang terkandung di dalam matan tersebut adalah ajaran Islam yang
universal, maka ketentuan yang dikandung berlaku di setiap waktu dan tempat.
4)
Bahasa
Simbolik
Terdapat perbedaan ulama terkait dengan ada dan tidaknya bahasa
simbolik dalam matan sebuah hadis. Bagi ulama yang menganggap tidak ada, maka
hadis dengan bahasa simbolik jika bertentangan dengan akal atau ketentuan yang
baku di dalam ajaran Islam, maka serta merta matan hadis tersebut dianggap
dlaif. Berbeda dengan ulama yang menyatakan bahwa di dalam hadis terdapat
bahasa simbolik, yang mengharuskan pembacaan matan tersebut sesuai dengan
konteksnya (kontekstual). Contoh hadis dengan menggunakan bahasa simbolik
antara lain hadis yang artinya, “Tuhan setiap malam turun ke langit pada
saat malam sepertiga akhir. [29] Hadis ini jika dipahami secara tekstual, maka
seakan ada mumatslah antara Tuhan dan makhluq sehingga dinilai dlaif, dan
pemahaman ini bisa dihindari jika kita memaknakannya secara kontekstual. Makna
kontekstual hadis ini adalah turunnya limpahan rahmat Nya.[30]
5)
Dialog
Banyak matan hadis yang diawali dengan pertanyaan yang sama, namun
memberikan jawaban yang berbeda. Contohnya adalah pertanyaan tentang amal
perbuatan yang paling baik. Nabi menjawab dengan berbagai jawaban, antara lain;
kalian yang memberi makan, Shalat pada waktunya, Iman kepada Allah dan lainnya.
Perbedaan jawaban tersebut dimungkinkan karena dua hal yaitu, relevansi antara
jawaban dan orang yang bertanya dan relevansi antara keadaan kelompok
masyarakat dan jawaban yang diberikan Rasulullah SAW. Dengan demikian maka
matan hadis tersebut bersifat temporal, kondisional bukan universal. Meskipun
ada juga beberapa hadis yang bermakna universal, antara lain hadis tentang
dialog antara Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi tentang inti ajaran “kata kunci”
tentang Islam. Rasulullah kemudian menjawab “Katakanlah saya beriman kepada
Allah, lalu istiqamahlah”, hadis ini bersifat tekstual dan universal.[31]
Menurut Syuhudi Ismail berbagai disiplin ilmu itu berperanan
penting tidak hanya dalam hubungannya dengan upaya memahami petunjuk ajaran
Islam menurut teksnya dan konteksnya saja, tetapi juga dalam hubungannya dengan
metode pendekatan yang harus digunakan dalam rangka dakwah dan tahap-tahap
penerapan ajaran Islam. Karena pengetahuan senantiasa berkembang dan heterogenitas
kelompok masyarakat selalu terjadi, maka kegiatan dakwah dan penerapan ajaran
Islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan keadaan masyarakat. Jadi, di satu sisi perlu
selalu dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan di sisi yang lain para mujtahid
memikul tanggung jawab untuk memahami dan memanfaatkan berbagai teori dari
berbagai disiplin pengetahuan (termasuk ilmu-ilmu sosial). Dengan demikian,
akan makin jelas keberadaan ajaran islam yang universal, temporal, dan lokal.[32]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
M. Syuhudi Ismail adalah seorang tokoh hadits kontemporer yang
berasal dari Indonesia. Beliau adalah seorang yang mempunyai karakter yang
baik, tekun, berpendirian teguh, tabah, sabar, istiqamah, disiplin, gigih dan
semangat dalam menuntut ilmu, cerdas, berani,
kritis, dan bertanggungjawab. Kegigihan dan semangatnya mampu membawanya pada
segudang prestasi baik di bidang keimuan, politik dan perstasi lainnya di
masyarkat. Selain itu, semangatnya dalam belajar juga membuatnya mampu
menyelesaikan proses belajarnya dengan tepat waktu.
Syuhudi Ismail juga banyak memberikan konstribusi dan pemikiran
dalam dunia keilmuan, khususnya dunia hadits. Salah satu Karyanya dalam bentuk
buku menjadi referensi utama pada mata kuliah Ilmu hadits di Perguruan Tinggi
Islam Indonesia dan menjadi karya terpenting. Dikatakan terpenting karena
karya-karya tersebut berpengaruh dalam perkembangan kajian hadis di Indonesia,
yaitu mengubah peta kajian hadis, khususnya kajian hadis di PTAI Indonesia,
dari kajian yang terfokus pada kritik sanad saja menjadi kajian kritik sanad
dan matan. Inilah bukti aspek prolifik dan ensiklopedik bagi tokoh ilmuan
Indonesia yang berasal dari Lumajang ini.
Salah
satu pemikiran hadits M. Syuhudi Ismail yang terkenal adalah bahwa dalam
memahami sebuah matan hadits tidak cukup hanya melihat dari sudut tekstual
matan hadits tersebut saja, akan tetapi juga harus melihat dan mempelajari
sudut kontekstual dari hadits tersebut, seperti keadaan Nabi dan suasana yang
melatarbelakanginya. Adapun salah satu bentuk ijtihadi M. Syuhudi Ismail dalam mengkaji
fikih hadis tentang persoalan kontemporer adalah seperti pada soal bedah
plastik, sewa rahim, kepemimpinan perempuan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Ahmad, Andi Muhammad Ali Amiruddin, Abdul Gaffar,
Kecenderungan Kajian Hadis di UIN
Alauddin Makassar (Tracer Study terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013), Journal
of Qur’an and Hadis Studies – Vol. 4, No. 2, 2015.
Fithriady Ilyas, Ishak bin Hj. Sulaiman, Muhammad Syuhudi
Ismail (1943-1955) Tokoh Hadis Prolifik, Ensklopedik, dan Ijtihad, Jurnal
Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017.
Hamdan Noor, Konstribusi Muhammad Syuhudi Ismail dan Ali
Mustafa Ya’qub dalam kajian Hadits di Indonesia, Medan: Tesis Sekolah
Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2014.
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail, RELIGIA
ISSN 1411-1632 (Paper) E-ISSN 2527-5992 (Online) Vol. 20, No.1, 2017.
Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadis M.
Syuhudi Ismail, Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Sumatera Utara,
2017.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan
Lokal, Jakarta: PT. Bulan Bintang (1994), Cet. Ke-1.
Nurzaeni, Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab
Secara Khusus pada Buku Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Tela’ah
Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Karya
M. Syuhudi Ismail, Jakarta: Skripsi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta,
2011.
Sahiron Syamsuddin, Kaidah Kemutasilan Sanad Hadis (Studi
Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail), Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 1, Januari 2014.
www.islamweb.net. Mausu’ah al-Hadis
[1]
Sahiron Syamsudin, Kaidah Kemutasilan Sanad hadis Studi Kriitis Terhadap
Pendapat Syuhudi Ismail (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15,
No. 1, Januari 2014)
[2]
Hamdan Noor, Konstribusi M. Syuhudi Ismail dan Ali Musthofa Ya’qub dalam Kajian
Hadits di Indonesia (Tesis UIN Sumatera Utara, 2014)
[3] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal.2-3
[4]
Arifuddin Ahmad, Andi Muhammad Ali Amirudin, dan Abdul Gafar, Kecenderungan Kajian Hadis di UIN Alauddin Makassar,
Tracer Study terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013 (Journal of Qur’an and
Hadits Studies – Vol. 4, No. 2, (2015)
[5] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 6
[6]
Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku
Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
[7]
Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis
UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal. 16
[8] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 9
[9]
Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis
UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal. 6
[10]
Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku
Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
[11] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 7
[13]
ibid
[14]
Idris Siregar, Kritik Kontekstualisasi Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail (Tesis
UIN Sumatera Utara Medan, 2017) hal.
[15]
ibid
[16]
Nurzaeni, Studi kritis Hadits Nabi yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku
Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual karya M. Syuhudi Ismail (Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
[17] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 13
[18] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal.3
[19]
Sahiron Syamsudin, Kaidah Kemutasilan Sanad hadis Studi Kritis Terhadap
Pendapat Syuhudi Ismail (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[20] Fithriady
Ilyas, Muhamammad Syuhudi Ismail Tokoh Hadits Prolifik, Ensklopekid dan Ijtihad
(Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 17. No. 1, Agustus 2017, hal. 21
[21]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994) Hal. 3-5
[22]
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan
Vol. 20, No.1, 2017) hal.36
[23]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994) hal.11
[24]
ibid
[25]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994) hal.13-14
[26]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994) hal. 16-17
[27] www.islamweb.net.
Mausu’ah alHadis
[28]
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan
Vol. 20, No.1, 2017) hal.37
[30]
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan
Vol. 20, No.1, 2017) hal.38
[31]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1994) hal.25-26
[32]
Hasan Su’aidi, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Paper, Jurnal IAIN Pekalongan
Vol. 20, No.1, 2017) hal.47
Komentar
Posting Komentar