Kapita Selekta Pendidikan Islam ( Problematika Pendidikan Islam)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Tuntunan agama
Islam pada khususnya, sejak awal penyebarannya didunia ini telah mengajak dan
mendorong umat manusia agar bekerja keras mencari kesejahteraan hidup didunia
dan kebahagaiaan diakhirat secara simultan. Antara etos kerja duniawi dan
ukhrowinya tidak boleh dipisahkan, melainkan etos kerja yang terintegrasikan,
yang satu sama lain saling berkaitan secara continue, termasuk etos ilmiah yang
mendorong kearah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan islam pada hakikatnya diselenggarakan untuk
memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai islam kedalam jiwa para pemeluknya.
Sehingga seiring dengan perjalanan waktu yag cukup panjang dan perkembangn
masyarakat yang terus berubah, meteri, bentuk dan pola penyelenggaraan serta
sarana dan prasarana pendidikan Islam terus mengalami perluasan dan
penyempurnaan. Sampai pada akhirnya, pengertian pendidikan Islam sudah demikian
beragam dan luas cakupannya.
Selain itu,
dangan berkembangnya ilmu pengetahuan dan zaman yang semakin hari semakin maju
dan berkembang juga telah menimbulkan berbagai macam masalah dan problematika
dalam dunia pendidikan islam. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya
menyajikan sebuah makalah tentang Kapita Pendidikan Islam, dengan judul
makalah: “ Problematika Pendidikan Islam”
Rumusan Masalah:
1)
Apa pengertian pendidikan islam?
2)
Apa visi dan misi pendidikan islam?
3)
Apa problematika pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pendidikan Islam
a)
Pengertian Etimologi pendidikan Islam[1]
Pendidikan
dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim
riyadhah isyad dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan
makna tersendiri ketika sebagia atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun
semuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah
satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam
beberapa buku pendidikan islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian
dalam mewakili peristilahan pendidikan.
·
Tarbiyah
Istilah
tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayani) maka ia memiliki arti
memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan
memelihara membesarkan, dan menjinakan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga
ayat dalam al-Qur’an. Dalam QS. Al-Isra’ ayat 24 disebutkan: “kamaa
rabbayaani shaghiraa, sebagaimana mendidikku diwaktu kecil.” Ayat ini
menunjukan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak
saja mendidik pada domain jasmani, teteapi juga domain rohani. Sedangkan dalam
QS. asy-Syu’ara ayat 18 disebutkan: “alam nurabbika fina walida,
bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami.” Ayat ini menunjukan
pengasuhan Fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu hanya
sebatas pada domain jasmani, tanpa melibatkan domain rohani. Sementara dalam
QS. al-Baqarah: 276 disebutkan: “Yamhu Allah ar-ribaa wa yurbii shadaqoh,
Allah menghapus sistem riba dan mengembangkan sistem sedekah.” Ayat ini
berkenaan dengan makna menumbuhkembangkan dalam pengertian tarbiyah, seperti
Allah menumbuhkembangkan sedekah dan menghapus riba.
Tarbiyah
dapat juga diartikan sebagai proses transfomasi ilmu pengetahuan dari pendidik
(rabbani) kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi
dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi
pekerti, dan kepribadian yang luhur. Pemahaman istiah tarbiyah lebih luas dapat
dilihat pada pngertian sebagai berikut:
تَبْلِيْغُ
الشّيْئِ اِلَى كَمَالِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا بِحَسْبِ اسْتِعْدَادِهِ
“Proses menyampaikan
(transformasi) sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan tahap demi
tahap sebatas pada kesanggupannya.”
·
Ta’lim
Ta’lim
adalah kata benda atau mashdar yang berasal dari kata ‘allama. Sebagian
para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedankan ta’lim
diterjemahkan dengan pengjaran.
·
Ta’dib
Ta;dib
lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata karma, adab, budi
pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’din yang seakar dengan adab memilik arti
pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orany yang berpendidikan adalah
orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih
melalui pendidikan. Pengertian ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW:
أَدَّبَنِيْ
رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ (رواه مالك عن أنس)
”Tuhanku telah
mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.”
·
Riyadhah
Riyadhah
secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan. Menurut al-Bastani,
riyadhah dalam knteks pendidikan berarti mendidik jiwa anak dengan akhlak yang
mulia.
b)
Pengertian Terminologi Pendidikan Islam[2]
Berdasarakan
beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli dalam beberapa buku
bahwa pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “Proses
transinternalisasi pengetahuan dan nilai islam kepada para peserta didik
melalui upaya pengajaran, pembiasaan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan
potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup didunia dan
akhirat.” Defenisi ini memiliki lima unsur pokok pendidikan islam, yaitu:
1)
Proses transisternalisasi. Upaya dalam pendidikan Islam dilakukan
secara bertahap, berjenjang, terencana, terstruktur, sistemik, dan
terus-menerus dengan cara transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan
nilai islam pada peserta didik.
2)
Pengetahuan dan nilai islam. Materi yang diberika kepada peserta
didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai islam, yaitu pengetahuan dan nilai yang
diturunkan dari tuhan (illahiyan), atau materi yang memiliki kriteria epistomologi
da aksiologi islam, sehingga output pendidikan memiliki wajah-wajah islami
dalam setiap tindak-tanduknya.
3)
Kepada peserta didik. Pendidikan diberikan kepada peserta didik
sebagai subjek dan objek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan
da aktualisasi potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasi dalam
pengembangan dan aktualisasi itu. Sedangkan dikatakan objek karena ia menjadi
sasaran dan transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, agar ilmu dan nilai
itu tetap lestari dari genrasi kegenarasi berikutnya.
4)
Melalui upaya penagjaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, dan pengembangan potensial peserta didik agar terbentuk dan
berkembang daya kreatifitas dan produktivitasnya tanpa mengabaikan potensi
dasarnya.
5)
Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaanhidup didunia dan
akhirat. Tujuan akhir pendidikan islam adalah tercipta insan kamil, yaitu
mansia yang menyelaraskan dan mampu memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.
Menurut Zarkowi
Suyuti, sebagaimana dikutip oleh A. Malik Fajar, pengertian pendidikan Islam
meliputi tiga hal. Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh keinginan
dan semangat cita-cita luhur untuk mengejawantahkan nilai-nilai islam, baik
yang tercermin dari nama lembaganya maupun kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakannya. Disini kata islam dijadikan sebagai sebagai sumber nilai
yang tercermin dari nama lembaganya maupun kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakannya. Disini kata islam dijadikan sebagai sumber nilai yang akan
diimplemantisikan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan
yang menjadikan ajaran islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang
diselenggarakan. Disini kata islam ditempatkan sebagai sebuah disiplin ilmu dan
dikaji serta diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Ketiga jenis
pendidikan yang mencangkup kedua pengertian diatas. Disini kata Islam kata
islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang mengilhami serta tujuan yang hendak
dicapaidalam keseluruhan proses pendidikan sekaligus juga sebagai bidang studi
yang ditawarkan lewat program yang ditawarkan.
2.
Visi dan Misi Pendidikan Islam[3]
a)
Visi Pendidikan Islam
Kata
visi berasal dari bahasa Inggris vission , yang mengandung arti
penglihatan atau daya lihat, pandangan, impian atau bayangan. Dalam bahsa arab
kata visi dapat diwakili olehbkata nadzr,
jamaknya indzar, yang berarti vision (pandangan), seing (penglihatan) dan eye-seight
(pandangan mata). Dari pengertian diats dapat dilihat bahwa seluruh pengertian
tersebut berkaitan denga teori, kosep, gagasan, pemikiran, pandangan kedepan,
pertimbangan, dan pandangan yang dihasilkan melalui kerja keras akal pikiran. Visi
adalah konsep atau rumusan yang dihasilkan melalui pemikiran.
Visi pendidikan sesungguhnya melekat pada cita-cita
dan tujuan jangka panjang ajaran islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat
bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman Allah SWT:
“Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) melainkan agar menjadi rahmat
seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ :107)
Ayat
tersebut oleh Imam al-Maraghiy ditafsirkan sebagai berikut:
“Bahwa maksud dariayat yang artinya tidaklah
Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam,
adalah bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini, serta
sebagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar rujukan
untuk mencapai bahagia da akhirat, melainkan agar menjadi rahmat dan petunjuk
bagi mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhiratnya.”
Dengan demikian, visi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai
berikut:
“Menjadikan
pendidikan islam sebagai pranata yang kuat, berwibawa, efektif, dan kredibel
dalam mewujudkan cita-cita ajaran islam.”
Dengan visi tersebut, maka seluruh
komponen pendidikan islam sebagaimana tersebut diatas, harus diarahkan kepada
tercapainya visi tersebut. Visi itu harus dipahami, dihayati, diamalkan oleh seluruh
unsur yang terlibat dalam kegiatan pendidikan.
b) Misi Pendidikan Islam
Misi berasal dari bahasa Inggris mission yang memilikiarti tugas, perutusan,
utusan atau misi. Mission dapat diartikan sebagai tugas-tugas atau pekerjaan
yang harus dilakukan dalam rangka mencapai visi yang ditetapkan. Dengan
demikian antara visi dan misi harus memiliki hubungan fungsional-simbiotik,
yakni saling mengisi dan timbal balik. Dari sau sisi visi mendasari mendasri
rumusan misi, sedangkan dari sisi lain, keberadaaan misi akan memnyebabkan
adanya visi. Misi merupakan jawaban atas pertanyaan what are will doing? (apa yang akan dikerjakan?). Karena
pekerjaan merupakan kegiatan, maka misi harus berisi berbagai kegiatan yang
mengarah kepada tercapainya misi.
Berdasarkan Uraian diatas, maka misi pendidikan
islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Mendorong timbulnya kesadaran umat manusia agar mau melakukan kegiatan
belajar-mengajar
2) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sepanjang hayat
3) Melaksanakan program wajib belajar
4) Melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
5) Mengeluarkan manusia dari kehidupan dzulumat (kegelapan) kepada kehidupan yang terang
benderang
6) Memberantas sikap jahiliyah
7) Menyelematkan manusia dari tepi jurang kehancuran yang diebabkan karena
pertikaian
8) Melakukan pencerahan batin kepada manusia agar sehat jasmani dan
rohaninya
9) Menyadarkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan
bencana dimuka bumi, seperti pemusuhan dan peperangan
10) Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna dimuka bumi.
3. Problematika Pendidikan Islam
1) Hancurnya pilar pilar pendidikan karakter[4]
Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah sebuah
perjuangan bagi setiap individu untuk menghayati kebebasannya dalam relasi
mereka dengan orang lain dan lingkungannya, sehingga ia dapat semakin
megukuhkan dirinya sebagai pribadi yang unik dank has serta memiliki integritas
moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter bukan hanya
berurusan dengan penanaman nilai-nilai luhur pada diri peserta didik, melainkan
merupakan sebuah usaha bersama untk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif,
yaitu tempat dimana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai
sebuah prasyarat bagi kehudupan moral yang dewasa.
Berbagai kenyataan dan realitas yang menjadi
penghambat bagi terlaksananya pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan
agama dan pendidikan agama sebagai pilar-pilar pendidikan karakter tersebut
kian hari tampak semakin parah dan lemah. Keadaan ini jika tidak segera
diatasi, maka pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengatasi kemorosotan
moral dan akhlak bangsa ini akan sulit diwujudkan. Karenanya sebuah studi
komprehensif, mendalam dan sungguh-sungguh untuk merekontruksi kembali
pendidikan karakter yang didasarkan pada hasil penelitian yang kredibel
merupakan hal yang perlu dilakukan.
Selanjutnya realisasi pendidikan karakter tersebut
juga harus ditopang oleh tiga pilar utama lembaga pendidikan yaitu rumah tangga
dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya dengan dasar
tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak sebagai titipan dan
amanah tuhan yang harus dipertanggungjawabkan. Dilihat dari segi
kecenderungannya, ada orang tua yang menginginkan anaknya dididik dalam konteks
lingkungan yang multikultural, ada pula orang tua yang ingin anaknya dididi dengan
pendidikan yang diterimanya dirumah, dan adapula orang tua yang tidak puas pada
pelayanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah, sehingga mereka menginginkan
sebuah pendidikan alternatif yang selanjutnya dikenal dengan istilah home schooling dan sebagainya.
Namun
dalam praktiknya tidak semua orang tua memiliki wawasan, pengalaman, keahlian
dan peran-peran yang harus dimainkan orang tua dalam mendidik karakter
putera-puterinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini masih
ditambah lagi keadaan orang tua yang tidak memiliki waktu yang cukup untuk membina karakter
anaknya dirumah, sebagai akibat dari perannya yang tidak lagi hanya bersikap
domestic dan lokal, melainkan juga peran yang bersifat nasional, regional
bahkan internasional.
Bertolak
dari berbagai kekurangan yang dimiliki orang tua dirumah, maka pendidikan
karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, dengan pertimbangan karena
merupakan institusi yang dibangun dengan tugas utamanya mendidik karakter
bangsa, juga disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM,
manajemen, system, dan lainnya yang berurusan dengan pendidikan. Namun, karena
tidak semua sekolah memiliki visi. Misi, tujuan dan komitmen yang jelas tentang
pendidikan karakter, serta lemahnya dalam menerapkan metodologi dan pendekatan
sebagaimana tersebut diatas, menyebabkan pendidikan karakter disekolah juga
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak hanya itu, pada sebagian besar
lembaga pendidikan yang bernama sekolah inimasih terdapay praktek budaya yang secara
diametral tidak sejalan dengan oendidikan karakter. Budaya sekolah yang tidak
baik, seperti kultur yang tidak jujur, menyontek, mengatrol nilai, manipulasi
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis buku pelajaran yang merugikan
siswa, tdiak disiplin, kurang tanggung jawab terhadap kebersihan dan kesehatan
lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai lembaga pendidikan yang
bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka seorang anak yang sebelum
masuk sekolah terlihat jujur, sopan dan santun, namun setelah tamat sekolah
malah akhlak dan karakternya makin merosot. Adanya tawuran antara pelajar,
pergaulan bebas, hubungan seks sebelum nikah, tindakan criminal, kebut-kebutan,
mengonsumsi narkoba, dan lain sebagainya seringkali mewarnai para pelajar.
Semua contoh ini sama sekali bertentangan dengan visi, misi dan tujuan
pendidikan karakter.
Selanjutnya
karena rumah tangga dan sekolah sebagai pilar-pilar utama bagi pendidikan
karakter tersebut sudah kurang efektif lagi, bahkan sudah hancur, maka
pemerintah dan masyarakat juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan
karakter. Melalui tanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya
manusia dan system yang dimilkinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih
besar untuk menyenlenggarakan karakter bangsa. Namun demikian, pilar pemerintah
inipun dalam keadaan rapuh dan tidak efektif. Banyaknya pejabat pemerintah
mulai dari atas sampai kebawah, mulai dari pusat sampai kedaerah yang terlibat
dlam tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan wewnang yang berdampak pada
kerusakan lingkungan, serta sejumlah kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada
masyarakat kecil, serta foya-foya, menyebabkan wibawa dan hak moral pemerintah sebagai
modalnutama bagi pendidikan karakter menjadi amat merosot. Munculnya para calon
pejabat daerah yang dinilai kurang baik akhlaknya ditanya, mengapa ia berani
ikut serta dalam pemilu pilkada? Ia menjawab: “bhwa pejabat yang sekarang
berkuasa dipusat dan didaerah pun banyak akhlak dan moralnya tidak terpuji.
Oleh karena itu mengapa saya yang akhlaknya kurang terpuji tidak boleh
mencalonkan diri” Jika keadaannya sudah begini, maka pilar mana lagi yang dapat
diharapkan mampu menopang pendidikan karakter bangsa.
2) Perbenturan antara nilai-nilai kehidupan umat manusia[5]
Sebelum perkembangan ilmu dan teknologi
canggih abad ke-20, terutama yang menjangkau teknologi ruang angkasa yang
didahului oleh pengorbitan Sputnik Uni Soviet pada tahun 1957 yang lalu kedalam garis
orbit, telah berkembanglah benih-benih konflik antar nilai dalam berbagai
lapangan hidup umat manusia. Bahkan sejak Renaissance (Aufklarung) pada abad pertengahan dibenua Eropa,
benih-benih konflik itu telah berkembang antara lain dogmatisme gereja dengan
nilai-nilai ilmu pengetahuan yang didukung oleh filsuf yang menghendaki
kebebasan menalar sepuas-puasnya. Tuntutan hati nurani para pakar segala bidang
imiah itu akibat nunculnya doktrin-pemisahan nilai agama (Kristen), dari
nilai-nilai sekuleristik ilm pengetahuan di Eropa.
Benturan nilai-nilai itu berlanjut
terus-menerus sampai berlanjut terus-menerus sampai meletusnya revolusi
industry dengan penciptaan mesin-mesin kapal dan pabrik di Inggris. Kemudian
berlanjut dengan berkembangnya iptek dibidang persenjataan perang kaum penjajah
barat (Eropa dan Amerika Serikat) untuk kepentingan kolonialisme-imperialisme
terhadap bangsa-bangsa terjajah. Sehingga terjadilah confict
of interest (benturan nilai-nilai karena berbedanya kepentingan) antara para
penjajah dengan yang dijajah.
Begitu
pula timbul perbenturan nilai-nilai dalam kepentingan ekonomi antara
negara-negara industry maju dengan negara belum maju industrinya. Selain itu,
nilai dari kepentingan pemasaran hasil industry antar sesame negara industry
terjadi juga konflik, sehingga dalam usaha bisnis mereka sendiri berlaku
semboyan money is power. Dalam praktek persaingan dagangnya juga berlaku
semboyan homo homini lupus (manusia memakan sesama manusia). Satu sama lain
saing berusaha membunuh rekan dagang, membengkak menjadi nafsu kolonialisme
ekonomi modern pada saat ini terhadap bangsa-bangsa dunia ketiga.
Persaingan
hidup antar manusia yang berbeda atau sama kepentingannya itu, pada gilirannya
mendorong kemajuan perkembangan iptek canggih. Sebagai alat yang terus
berlangsung tanpa diketahui oleh ilmuwan genius manapun kapan mencapai titik
puncaknya. Negara-negara yang sedang berkembang menantikan produk-produk negara
maju. Proses produksi mereka lebih cepat dari proses belajar-mengajar
bangsa-bangsa yang sedang membangun. Ibaratnya mengejar laying-layang yang
terputus talinya diudara terbuka, semakin dikejar laying-layang itu semakin
terbang tinggi. Barangkali hanya melaui terobosan-terobosan jalan studi baru
peniruan, kita dapat menguasai dan mengejar ketinggalan-ketinggalan dibidang
iptek tersebut, seperti Jepang.
Dalam
kaitannya dengan perubahan sosial itu, ilmuwan bidang antropologi seperti
Herbert Spencer, memandang bahwa:
a. Kehidupan umat manusia berada dalam proses penyesuaian diri antara
hubungan internal dengan eksternal (lingkungan). Prilaku manusia disesuaikan
dengan tujuan hidupnya.
b. Prilaku yang disebut baik, secara relative lebih banyak mengalami
perubahan. Sedangkan prilaku yang berpredikat buruk, mengalami perubahan lebih
lambat.
c. Proses penyesuaian prilaku yang semakin berkembang sesuai dengan tujuan
berlangsung sepanang hidup.
d. Hidup yang disebut baik atau buruk itu dapat atau tidak dapat
memberikan perasaan nikmat yang berupa kesenangan.
e. Sesungguhnya hidup itu tidak akan dapat memberikan perasaan yang
melimpah.
f. Apa yang secara optimal dapat memberikan kewenangan kepada normal moral
dan rasa takut terhada siksaan (derita) dan hukuman.
g. Kaidah dan peraturan moral yang diterima oleh seluruh masyarakat sepanjang
sejarah adalah bergantung atas seleksi alamiah yang sesuai dengan keadaan,
sehingga prilaku manusia mendapat sanksi moral yang proporsinya berbanding
terbalik. Antara semakin lemahnya disiplin dengan semakin besarnya kerajinan
bekerja.
h. Tiap orang secar intuitif adalah makhluk yang bebas memilih berbuat
sesuatu yang ia kehendaki, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain.
Kebebasan itu ia pergunakan untuk mencari kebaikan bagi dirinya sendiri.
i.
Dalam proses perkembangannya, prilaku
manusia semakin kurang teerkendali oleh tujuan jangka panjang. Sedangkan rasa
melaksanaka suatu kewajiban (sense of duty) merupakan hasil sanksi internal yang dapat
menyelematkan prilaku manusia itu yang banyak dikendalikan oleh tujuan hidup
jangka panjang. (An Introduction to Ethnics, William Lillie, p. 184).
Sejalan dengan teori perubahan tersebut diatas, filsuf besar Jerman.
Immanuel Kant memandang, bahwa manusia itu sebagai makhluk yang bertujuan hidup
dan dirinya sendiri (mans is an end in himself). Padahal, banyak orang yang menganggap
bahwa yang paling utama bagi manusia adalah hasil kemajuan paling indah dari
kehidupan moral manusia (William Lillie, p. 20).
Ungkapan diatas menujukan arti bahwa manusia adalah makhluk yang
berkemampuan dirinya sendiri sejalan dengan tujuan hidupnya. Namun menurut
penulis, manusia secara fitri memiliki potensi untuk mengubah diri menjadi
lebih baik, beriman, berbuat shaleh, dan sebagainya. Manusia sebagai tabiat
berpotensi untuk menjadi orang kafir, fajir dan jahat, perusak dan sebagainya.
Manusia untuk menjadi baik banyak bergantung pada proses interaksi antara pengaruh
dari dalam diri dengan pengaruh dari luar dirinya. Itulah proses pendidikan
yang terjadi dalam masyarakat terbuka, dimana kegiatan interaksional antara
dirinya apa yang terjadi dalam masyarakat saling mempengaruhi.
Seorang filsuf Inggris terkenal pada bagian awal abad ke-20 ini,
Bertrand Russel, pernah menggambarkan tentang conflict of interest dalam berbagai bidang kehiduoan sebagai
berikut: “Boadly speaking we are on the middle of race between human skill
as to means an human folly as to ends; every increase in the skill required to
achieve in to bad; the human race has survived hitherto owing to ignorance and
incompetence; but given knowledge and competence combined with folly, there can
be certainty of survival. Knowledge is power, but is power for evil just as
much as good. It follows that unless man increase in wisdom as such as in
know-ledge, increase of knowledge will be increase of sorrow.” (Impact on Science,
p. 120-121)
Filsuf Inggris terkenal diatas menggambarkan kehidupan umat manusia
yang semakin meningkat ilmu pengetahua dan keterampilannya, namun senantiasa
berada dalam konflik antar kepentingan yang masing-masing berpegang pada niali
yang berbeda. Sehingga timbul pertentangan dan benturan antar nilai, mengarah
pada kebajikan dengan mengarah pada kejahatan. Jika ilmu pengetahuan dan
keteramplan secagai alat untuk mempertahankan kehidupan didasari dengan
kebijakan yang seimbang, maka pertambahan penderitaan umat manusia akan
berkurang. Namun jika sebaliknya, maka penderitaan dan kesedihan akan bertambah
besar.
Bila diproyeksian kemasa kini dimana iptek mdern mengalami kemajuan
pesat, maka kehidupan maka kehidupan masyarakat semakin dilanda oleh
perbenturan nilai-niai yang established (telah mapan). Seperti nilai-nilai
agama atau tradisional dengan nilai-nilai baru akibat dari dampak-dampak
positif dan negative kemajuan iptek yang pada dasarnya sekulerita dan
pragmatis. Nilai-nilai agama (samawi) yang telah berabad-abad dijadikan
sandaran hidup masyarakat beragama yang pada dasarnya bersifat qath’i (tak
berubah-ubah), harus mampu menghadai tantangandari nilai-nilai
reltivitas-pragmatis dari dampak iptek tersebut.
Perbenturan antara nilai-nilai islami dan non islami yang relativitas
itu, pernah terjadi pada masa dunia islam mengalami tingkat perkembangan imu
pengetahuan dan teknologi di Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol islam.
Namun para ilmuwan, filsuf, ahli piker muslim dalam berbagai bidan ilmu, justru
memandang bahwa nilai-nili peradaban baru dunia nonislam saat itu melahirkan
inspirasi terhadap kreatiitasbaru untuk mengembangkan prinsip-prinsip
kretivitas ilmiah menurut ajaran islam. Kreativitas ilmiah yang bersumber dari
kitab suci dan sunnah Nabi SAW, Secara selektif dan inofatif, serta akomodatifterhadap
nilai-nilai baru dari luar dijadikan daya dorong serta pemacu terhadap kemajuan
peradaban islam ditengah dinamika masyarakat muslim. Dalam masyarakat islam,
nilai-nilai islami yang tak pernah mengalami perubahan ialah nilai teologisnya
(akidah keimanannya), sedangkan nilai-nilai amaliahnya dapat berubah sesuai tuntutan
zaman dan lingkungan.
Dalam hubungan ini jelas sekali apa yang digambarkan oleh Betrand
Russel, ahli piker Inggris kenamaan yang pernah melukiskan perbedaan kemajuan
peradaban dunia islam dengan dunia Eropa pada abad sebelum Renaissance. Menurtnya supremasi dunia Timur, bukan
hanya terletak pada kehebatan angkatan bersenjatanya: namun ilmu pengetahuan,
filsafat, kesustraan, dan seninyatelah begitu berkembang pesat dalam dunia
islam yang dalam waktu bersamaan Eropa masih tenggelam dalam barbarisme. Orang
Eropa menyebut periode ini sebagai zaman kegelapan, yang hanya terjadi di Eropa
yang beragam Kristen, sedangkan di Spanyol yang memeluk Islam, telah memiliki
peradabanyang cemerlang. Banyak filsuf dan ahli piker Eropa yang melukiskan
bahwa dunia islam berkat agamanya dapat berkembang lebih maju dari pada dunia
Eropa. Seperti John Davernport, Robert Briffault, Thomas Carlyle, Emmanel
Deutch, H.A.R. Gibb, dan lain-lain dari kaum orientalis Eropa. Mereka
menggambarkan tentang kehebatan islam yang dengan nilai-nilai samawinya, mampu
menggerakan ummat menjadi dinamis, maju lahir dan batin.
Dalam proses interaksi antara nilai-nilai lama dan baru itu, factor
yang menentukan survive (tetap hidup berkembang) atau tenggelamnya adalah
daya rentangan nilai-nilai itu sendiri. Nilai dalam batas-batas konfigurasinya
sehingga mampu berkulturisasi terhadap nilai-nilai baru dari luar. Ciri nilai
demikian terbukti pengalamanya dalam dunia islam zaman keemasan yang lalu.
Dalam masyarakat modern teknologi memegang peranan dalam kehidupan
dinegara-negara industri Barat dan Timur. Pada saat iptek menjadi sumber
kekuatannya, untuk itulah nilai agama samawi harus mampu berfungsi secara
actual sebagai filter, selector, dan pengontrol terhadap akibat nilai-nilai
yang ditimbulkan oleh kemajuan iptek tersebut.
Dengan demikian, perbenturan nilai-nilai internal-intrinsik baik atau
buruk menurut norma-norma islam, dapat teralisasikan secara harmonis dalam
masyarakat islam tanpa menimbulkan ekses-ekses ketegangan mental spiritual yang
menggejala kedalam prilaku negative, destruktif dalam kehidupan moral dan
sosial. Para ulama dan ilmuan muslim khususnya telah berhasil meletakan prinsip
hidup dalam menghadapi tantangan kemajuan iptek dengan semangat. “tetap
memelihara nilai-nilai tradisional lama yang terbukti baik, dan mengambil
nilai-nilai baru yang paling baik” (al-muhafdzatu ‘alaa al qadiem al sholih, wa al ahdzu bi al jadid al
ashlah).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
·
Pendidikan islam adlah proses
transinternalisasi nilai-nilai islam kepada peserta didik untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan didunia dan akhirat.
·
Visi dan misi pendidikan islam bersumber
pada visi dan misi ajaran islam, karena hakikat pendidikan islam adalah memasyarkatkan
ajaran islam agar dipahami, dihayati dan diamalkan oleh umat manusia, sehingga
tercapai kebahagiaan hidup secara seimbang, dunia dan akhirat.
·
Saat ini terdapat lembaga pendidikan
islam yang tergolong unggul, maju dan diakui dunia internasional, dan terdapat pula lembaga pendidikan islam yang
tergolong kurang maju, bahkan nyaris bubar. Hal yang demikan terjadi karena
lembaga pendidika islam tersebut tidak memiliki visi dan misi pendidikan, namun
tidak ada kemauan untuk melaksanakanannya.
·
Adapun problematika pendidikan islam
yang sedang dihapi umat islam adalah hancurnya pilar-pilar pendidikan karakter
dan perbenturan antara nilai-nilai kehidupan manusia. Keduanya timbul karena
semakin maju dan perkembangan peradaban manusia yang meliputi kemajuan ilmu
teknologi dan informasi.
2. Daftar Pustaka
1) Nata, Abudin, M.A. Ilmu Pendidikan Islam: Kencana Prenada Media Group.
2) Arifin, Muzayyin, M.Ed. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
3) Mujib, Abdul, M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam: Kencana Prenada Media Goup.
4) Nata, Abudin, M.A.2013. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu
Kontemporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
[1] Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. “Ilmu Pendidikan Islam”.(Kencana Prenada
Media Group), h. 10-22.
[2] Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. “Ilmu Pendidikan Islam”.(Kencana
Prenada Media Group), h. 25-29.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. “Ilmu Pendidikan Islam” (Kencana
Prenada Media Group), h. 40-53.
[4] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2013 “Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam.” (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), h. 149-156.
[5] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. 2008, “Kapita Selekta Pendidikan
Islam” (Jakarta: Bumi Aksara), h. 57-62.
Komentar
Posting Komentar